Alasan Laki-laki Menghindari Menari; Menelisik Warisan Energi Berlebih dan Stigma Sosial

 

kenapa laki-laki enggan jadi penari (Foto ist.)


Damariotimes. Pertanyaan mengapa laki-laki enggan menari, telah lama menjadi perbincangan menarik dalam dunia seni dan sosial. Jawaban klasik dari kritikus tari Amerika Serikat, John Martin, yang menyatakan bahwa pria memiliki kelebihan energi sehingga lebih memilih aktivitas yang mampu melepaskan energi tersebut secara lebih masif daripada menari, menjadi pijakan awal untuk memahami fenomena ini. Namun, seiring perkembangan zaman, alasan di balik keengganan laki-laki untuk menari menjadi lebih kompleks dan melibatkan berbagai faktor sosial, budaya, dan psikologis yang masih relevan hingga kini.

Gagasan Martin tentang "kelebihan energi" pada pria mungkin berakar pada konstruksi gender tradisional yang menempatkan laki-laki sebagai sosok yang aktif secara fisik, kuat, dan berorientasi pada tindakan yang menghasilkan output nyata. Aktivitas seperti olahraga kompetitif, pekerjaan fisik yang berat, atau bahkan peperangan, dianggap sebagai saluran yang tepat untuk melampiaskan energi maskulin yang berlimpah. Menari, di sisi lain, seringkali diasosiasikan dengan kelembutan, ekspresi emosi, dan bahkan feminitas, yang dianggap kurang sesuai dengan citra maskulin yang ideal.

Warisan pandangan ini masih kuat mengakar dalam masyarakat. Sejak usia dini, anak laki-laki seringkali didorong untuk berpartisipasi dalam olahraga yang kompetitif dan aktivitas fisik yang menguras tenaga, sementara menari seringkali dianggap sebagai kegiatan yang lebih cocok untuk perempuan. Stereotip ini kemudian membentuk persepsi bahwa menari bukanlah aktivitas yang "laki," bahkan berpotensi merusak citra maskulin. Akibatnya, banyak pria tumbuh dengan rasa canggung atau bahkan malu untuk mengeksplorasi dunia tari.

Selain itu, stigma sosial yang melekat pada pria yang menari juga menjadi penghalang signifikan. Di banyak budaya, pria yang menunjukkan minat pada seni tari seringkali dicap feminin, homoseksual, atau kurang "macho." Ketakutan penilaian negatif dari teman sebaya, keluarga, atau masyarakat luas membuat banyak pria memilih untuk menjauhi lantai dansa. Mereka khawatir akan dikucilkan atau dianggap berbeda hanya karena menikmati gerakan tubuh dan ekspresi melalui tarian.

Lebih lanjut, kurangnya representasi laki-laki dalam berbagai genre tari juga turut memperkuat stigma ini. Media seringkali menampilkan penari pria dalam konteks balet klasik atau tari kontemporer yang mungkin dianggap kurang "mainstream" atau kurang menarik bagi sebagian besar pria. Kurangnya figur panutan laki-laki yang sukses dan maskulin di dunia tari populer, seperti hip-hop atau breakdance (yang meskipun didominasi pria, terkadang masih dianggap sebagai subkultur), dapat semakin memperkuat anggapan bahwa menari bukanlah pilihan karier atau hobi yang lazim bagi pria.

Aspek psikologis juga memainkan peran penting dalam keengganan pria untuk menari. Banyak pria merasa tidak percaya diri dengan kemampuan menari. Mereka mungkin merasa lebih nyaman melakukan aktivitas di mana merasa memiliki kontrol dan kompetensi yang lebih besar. Menari, yang melibatkan koordinasi tubuh, ritme, dan ekspresi emosi, bisa terasa asing dan menantang bagi mereka yang tidak terbiasa.

Selain daripada itu, budaya patriarki yang masih dominan di banyak masyarakat juga berkontribusi pada fenomena ini. Dalam sistem patriarki, laki-laki seringkali diharapkan menjadi sosok yang rasional, logis, dan mengendalikan emosi. Menari, yang melibatkan ekspresi emosi melalui gerakan tubuh, dianggap sebagai sesuatu yang bertentangan dengan citra maskulin ideal ini. Laki-laki merasa mengekspresikan diri melalui tarian membuat terlihat lemah atau rentan, atau takut disebut “gagah gemulai”.

Namun, penting dicatat bahwa batasan-batasan gender dalam seni tari mulai terkikis seiring dengan perkembangan zaman dan kesadaran akan kesetaraan gender. Semakin banyak pria yang berani mendobrak stereotip dan mengeksplorasi dunia tari tanpa merasa terbebani oleh stigma sosial. Kehadiran penari pria yang sukses dan maskulin di berbagai genre tari, serta perubahan pandangan masyarakat yang lebih inklusif, perlahan membuka ruang bagi pria untuk menikmati keindahan dan manfaat menari.

Walaupun demikian, warisan pandangan tradisional dan stigma sosial masih menjadi tantangan yang perlu dipehami. Pendidikan dan sosialisasi yang lebih inklusif sejak usia dini, yang menghilangkan batasan gender dalam kegiatan seni dan olahraga, dapat membantu mengubah persepsi masyarakat tentang menari. Menampilkan lebih banyak representasi positif dari laki-laki yang menari di berbagai media juga dapat membantu menghilangkan stigma dan menginspirasi lebih banyak pria untuk mencoba aktivitas yang kaya manfaat fisik, emosional, dan sosial.

Keengganan laki-laki menari bukanlah persoalan "kelebihan energi" seperti yang diungkapkan John Martin. Fenomena ini merupakan hasil dari konstruksi gender tradisional, stigma sosial yang kuat, kurangnya representasi, rasa tidak percaya diri, dan pengaruh budaya patriarki. Mengatasi hambatan-hambatan ini membutuhkan upaya kolektif mengubah persepsi masyarakat dan menciptakan lingkungan yang lebih inklusif dan mendukung bagi semua orang, terlepas dari jenis kelamin mereka, untuk mengeksplorasi keindahan dan manfaat dari seni tari.

 

Tim Damariotimes.

 

Posting Komentar untuk "Alasan Laki-laki Menghindari Menari; Menelisik Warisan Energi Berlebih dan Stigma Sosial"