Humanitas, Spiritual, Dan Estetik Dalam Seni Tari (bagian 5)

             Damaritimes. Sekali lagi yang perlu dipahami, bahwa tari (seni) adalah sebuah sarnan mengolah ”raga” yang memiliki kemampuan dalam bergerak agar trampil dalam menirukan, menyerap, menangkap realitas yang paling kakiki, mengolah ’jiwa” agar menemukan keluhuran, kepakaan, kecerdasan, atau kebijakan yang bukan bersumber dari ”pikiran”.

Seni tari mengolah ’jiwa”; menemukan keluhuran, kepakaan, kecerdasan, atau kebijakan (foto ist.)
Tubuh yang memiliki kecerdasan, kepekaan, keluhuran, dan atau kebijakan adalah sebuah akhir dari perolehan kita menggeluti dunia ”Tari”. Jika seorang bayi belajar berbicara melalui ”gerak” maka pada saat yang paling akhir dari kehidupan manusia adalah mengakhiri gerak. Jika realitas tersebut benar-benar dapat dipahami sudah selayaknya maka ”tubuh” yang bergerak itu benar-benar dicari nilai hakikinya  yang terdalam. Tentunya hal ini sangat beralasan, Tuhan menganugraknan manusia dapat ”bergerak” bukan karena aspek instingtif yang diberikan untuk menghindarkan diri dari bahaya atau mencari makan, tetapi ”bergerak” tentunya adalah modal untuk menemukan kesadaran realitas dari hidup. Maka titik akhir hidup, manusia tidak lagi bergerak adalah sebuah titik kulminasi kesadaran manusia tentang realitas  ini. Apakah sampai atau tidak kita bertemu Tuhan; tentunya salah satu yang dipertanyakan adalah ”gerak” yang kita miliki dapat menceritaan tentang realitas hidup.

Perihal tersebut  sangat beralasan, jika ”tari” diajarkan sebagai sarana pendidikan. Artinya tidak hanya sebatas siswa menjadi trampil, dan mampu pentas dipanggung ketika perpisahan sekolah dan berakhir dengan foto kenangan yang membanggakan keluagara. Siswa dibelajaran untuk bergerak yang teratur, sistemik, terkonstruksi, terarah, terbimbing memasuki tata nilai kehidupan moral dan spiritual. Sekali lagi pendidikan tari untuk siswa sekolah tidak sebatas mereka belajar untuk mengembangkan talenta yang berakhir sebagai intertenar (penghibur), tetapi kemampuannya bergerak dapat melakukan kontrol gerak, menyadari tentang ruang geraknya yang agar tidak lepas kendali dan terperosok pada ruang gerak yang emosional dan tercela.

Pencapaian yang sangat absolut dalam mempelajari tari adalah menyadari sepenuhnya bahwa gerak itu adalah semua media menemukan hakekat gerak yang hakiki yang penuh dengan perasaan ”cinta dan kasih sayang”. Inilah yang dimaksud jalan lain jika manusia ingin bertemu Tuhan.

Bagaimana pun wujud dan fungsi tari yang mengalami perubahan sesuai tuntuan lingkungan dan zamannya, satu hal yang selalu menyertai adalah ”estetik”. Estetika pada dasarnya sesuatu yang tidak dapat dikreasi, karena ”keindahan” yang umumnya dipahami sebagai sesuatu yang bersifat subjektif adalah sebuah ”rasa zaman”. Rasa zaman dimiliki dalam individu dan juga dalam masyarakat, sehingga estetika harus ditumbuhkan dengan cara membelajarkannya. Pendidikan estetik lebih penting dari membelajarkan ketrampilan seni. Maka, para guru harus yakin; bahwa membelajarkan estetik akan dapat memacu pertumbuhan seni dalam masyarakat. Peersoalan yang harus dihadari adalah cara membelajarkan dan media diperlukan karya seni. Karya seni yang dapat memberikan pondasi agar manusia mampu menghayati aspek kehidupan, baik yang bersifat humanistas (hakekat kemanusiaan) dan hakekat spiritual. Spiritual dalam diri manusia adalah dasar dalam mengapresiasi karya seni, karena dalam spiritual tersebut terkandung nilai-nilai trandendental (ke Tuhan-an).

 

 

Penulis        : Robby Hidajat

Editor         :  H Gumelar

Posting Komentar untuk "Humanitas, Spiritual, Dan Estetik Dalam Seni Tari (bagian 5)"