Seni Tari di Jawa Timur

Damariotimes. Keragaman seni tari di Jawa Timur memiliki dinamika kesejarahan; baik yang terkait dengan religi masyarakat pendukungnya, bentuk koreografi, dan fungsi sosial dan tuntutan dinamika zamannya. Sehingga sangat tidak mungkin, bahwa untuk memilah seni tari hanya berdasarkan gender (putra atau putri), atau hanya difokuskan pada jumlah penari, seperti solo (tunggal), duet (dua penari), trio (tiga penari), atau kwartet (empat penari). Oleh karena itu klasifikkasi dan penjenisan seni tari di Jawa Timur diperhatikan pada aspek pluralitasnya, yaitu terkait dengan perbedaaan gender penari, yaitu jenis penyaji tari: penari putra dan penari putri. Klasifikasi itu sangat umum dan mudah dikenali ciri-cirinya. 
Reog Ponorogo yang monumental (Foto ist.)
        Keragaman seni tari di Jawa Timur yang juga dapat diperhatikan secara umum juga dapat diperhatikan berdasarkan aspek sosial, yaitu diperhatikan atas keikut sertaan masyarakat dalam melibatkan diri dalam peristiwa tari. Walaupun ciri-cirinya tidak serta merta mudah dikenali, pemahaman aspek sosial dalam klasifikasi ini adalah diperhatikan interaksi antara penari wanita yang dikenali sebagai ronggeng, tandhak/tledhek, atau gandrung. Jenis tari ronggeng atau tayub ini adalah sebuah ekspresi sosial masyarakat dalam situasi peristiwa seni tari.
           Penjenisan berdasarkan religi para pendukung adalah sebuah fenomena fungsi tari yang bersifat umum juga. Kadang masyarakat tidak mempertimbangkan bentuk atau aspek penciri yang melekat pada koreografi, akan tetapi diperhatikan dari pola kebiasaan masyarakat menggunakan sebuah tari untuk aktifitas ritual, baik ritual yang terkait dengan pemujaan atau ritual pengharapan atau ucapan syukur terhadap keberhasialan kerja.
           Pada perkembangan seni tari yang semakin melintas batas ruang waktu, perjumpaan antar gaya etnik, dan sifat-sifat homogenitas unsur materi tari mengakibatkan terjadinya dorongan setiap orang ingin menikmati, menyaksikan, atau mengapresiasi. Seni pertunjukan etnik selalu berhubungan dengan tata kehidupan kekerabatan yang memiliki ikatan-ikatan pola sosial, sehingga melahirkan suatu yang disebut ‘pewarisan’, pewarisan ini memiliki kegunaan tertentu, utamanya untuk menyangga adat yang pada umumnya disebut sebagai seni pertunjukan tradisional. Sementara seni pertunjukan yang memiliki ciri-ciri metropolis pada umumnya bersifat lebih mengacu pada kekinian sehingga disebut ‘kontemporer’. Ekspresi yang bersifat kekinian tentunya memiliki ciri-ciri yang menonjolkan inovasi (pembaharuan) maka selanjutnya disebut sebagai seni pertunjukan ‘modern’. Varian dari seni pertunjukan modern yang seringkali tampil sebagai bentuk ‘kemasan’ atau Kicth, adalah seni pertunjukan yang bersifat menghibur, perkembangannya sesaat dan tidak memiliki dasar filosifis yang dalam. Perkembangan seni pertunjukan hiburan ini disebut sebagai populer performing art (seni pertunjukan populer). Fenomena ini memdorong masyarakat untuk menikmati ekspresi para seniman tari dari berbagai sub etnik. Oleh karena itu terjadi tradisi baru dalam mengapresiasi, yaitu tari sebagai bentuk hiburan. Ciri-ciri yang dapat dikenali adalah beragam, salah satunya penyajinya yang eksotik (aneh), ada aspek komikel, dan mempunyai daya tarik penampilan, kostum yang glamor, penari yang luwes atau gagah perkasa. Aspek atraktif juga kadang menjadi bagian yang ditonjolkan.
          Keragaman seni tari di Jawa timur juga dapat diperhatikan dari aspek orsinalitas, bahkan menjadi identitas masyarakatnya. Tari yang berusaha untuk ditampilkan sebagai salah satu keragaman yang khas adalah tari Ngeremo (istilah ini dipilih untuk menjalin konsistensi istilah dalam buku ini). Tari Jenis ini memiliki kekuatan dan kepopuleran, sehingga pantas ditonjolkan dan dijadikan sebagai bagian yang terkait dengan ekspresi masyarakatnya, setidaknya dapat diperhatikan dari tiga sub kultur Jawa yang berada di Jombang, Surabaya, dan Malang. Sungguhpun demikian setelah tahun 1980-an. Tari Ngremo sudah tidak lagi menjadi bagian dari tiga sub kultur Jawa di Jawa Timur itu, akan tetapi sudah diterima di sub kultur Jawa di seluruh Jawa Timur.
           Pengklasifikasian yang lain juga diangkat dari aspek keunikan dan kekhasan pertumbuhan seni tari di Jawa Timur, yaitu jenis tari bertopeng. Konon jenis tari topeng ini sudah dikenali sejak abad VIII, yaitu tampil pada ritual manusuk sima. Bahkan dari berbagai periode kesejarahan ditemukan berbagai istilah untuk menyebut tari bertopeng, seperti atapukan, patapelan, atau raket. Istilah-istilah tersebut kini sudah tidak digunakan, akan tetapi tari topeng di Jawa timur masih tumbuh dan berkembang, seperti yang berkembang di Madiun, Situbondo, Madura, dan Malang.
 
 
 
Penulis : Robby Hidajat
Editor   : Muhammad ‘Afaf Hasyimy

Posting Komentar untuk "Seni Tari di Jawa Timur"