Problematika Pelestarian Tari Badaya Wirahmasari Rancaekek

        Damariotimes. Tari Badaya Wirahmasari Rancaekek merupakan tarian tradisional yang diciptakan oleh R. Sambas Wirakusumah pada tahun 1925, beliau merupakan salah satu tokoh tari Sunda yang melahirkan ibing patokan yang dikenal dengan Tari Keurseus. Hal yang melatarbelakangi terciptanya tarian ini yaitu ketika R. Sambas Wirakusumah ingin mencari sesuatu atau suasana yang lain dalam aspek seorang penari, karena pada waktu itu di dunia tari jarang sekali ada kaum wanita yang menari (Ai Mulyani dan Euis Suhaenah, 2019: 9).

 Rias yang digunakan dalam Tari Badaya Wirahmasari Rancaekek adalah rias korektif dan busananya terdiri dari apok beludru, kain batik yang dipakai sebagai dodot panjang atau buntut, beubeur, kewer, tutup rasa (sampur pendek), siger, mangle/bunga yang dikenakan pada kedua sisi kepala kiri dan kanan, kalung dua susun, kalung panjang, gelang, anting, dan kilat bahu. 

Tari Badaya Wirahmasari Rancaekek (Foto ist.)
 MAKNA TARI 

  Jika dilihat dari namanya, Tari Badaya Wirahmasari Rancaekek berasal dari tiga kata yaitu Badaya, Wirahmasari, dan Rancaekek. Pengertian Badaya diambil dari nama gending pengiring tarian yaitu lagu “Kawitan naik Badaya”. Selain itu, istilah Badaya juga diartikan sebagai wanita yang biasa menari di Kabupaten. Penamaan Wirahmasari diambil dari nama sanggar yang didirikan oleh R. Sambas Wirakusumah yang berada di daerah Rancaekek Kabupaten Bandung. Maka dari itu nama tari Badaya ini sering pula disebut tari Badaya Rancaekek sesuai dengan nama tempat diciptakannya tarian tersebut.   

Tata rias pada tari Badaya Wirahmasari Rancaekek menggunakan rias korektif, yang terdiri dari: alis bulan sapasih, godeg geulis, perona mata berwarna merah dan biru, perona pipi dan lipstik berwarna merah serta menggunakan pasu teleng. Penggunaan model alis bulan sapasih memiliki makna sesuai dengan gambaran karakter tari dari putri Sunda yang elegan, santun,dan memiliki tata krama yang baik. 

Tarian ini mempunyai karakter halus atau lungguh. Karakter putri lungguh, pada umumnya bergerak dengan tenaga yang lembut dan sedang, serta ritme dan temponya lambat dan sedang; anggota tubuhnya agak tertutup dengan badan dan arah pandangnya agak condong ke depan, level medium ketika berdiri, garis-garis lengannya lengkung dan lurus; ruang gerak yang agak terbuka, dan kualitas geraknya lembam, mengayun, perkusi dan menahan. Berdasarkan gerakan yang halus dan irama yang mengalun memperlihatkan bahwa dalam Tari Badaya Wirahmasari Rancaekek memiliki nilai etika atau batas-batas norma seorang perempuan menak yang berbudi luhur yang bisa diterapkan oleh perempuan pada kehidupan sehari-hari.

FUNGSI TARI

Tari Badaya Wirahmasari Rancaekek berfungsi sebagai sarana pertunjukan. Tari sebagai pertunjukan ditujukan untuk memperlihatkan sesuatu yang dinilai memiliki nilai seni, untuk menarik perhatian, memberikan kepuasan dan memperoleh kesan. Lebih jelasnya tarian ini merupakan sebagai tarian pembuka pada acara-acara penting kenegaraan seperti menghibur ulang tahun Raja Belanda, pernikahan keluarga bangsawan atau menak, dan acara penerimaan tamu agung. Tempat pertunjukan tari Badaya disajikan di tempat yang bergengsi, yaitu di Pendopo Kabupaten dan di gedung yang representatif yang biasa para menak atau bangsawan mengadakan pertunjukan yang dihadiri oleh para tamu undangan yang terhormat. Baru kemudian setelah zaman Jepang tari Badaya Rancaekek dipertunjukan oleh keluarga dan lingkungan Kabupaten.

PROBLEMATIKA PELESTARIAN

Sebagai bentuk tari tradisional, tari Badaya Wirahmasari Rancaekek mengalami problematika pelestarian yaitu, kini hanya kalangan terbatas yang mengenal tari ini sebagai identitas Rancaekek. Sebagai tarian yang ekslusif, Tari Badaya menjadi tarian yang terbatas, hanya dapat ditampilkan di Pendopo Kabupaten saja. Tidak hanya lokasi pementasannya saja yang terbatas, tetapi penarinya juga harus dari kalangan menak.

Meski para penari merupakan putra-putri dan kerabat menak, mereka hanya diperbolehkan menari sampai usia 10-15 tahun saja. Hal tersebut menjadi alasan mengapa hanya sedikit orang yang mampu melestarikan tarian ini. Selain itu, hilangnya Tari Badaya juga dapat diakibatkan oleh kebijakan dari pergantian kepala daerah. Terlebih ketika R Sambas Wirakoesoemah wafat pada tahun 1962 yang mengakibatkan Perguruan Tari Wirahmasari sempat vakum selama dua tahun.

Sebagai upaya pelestarian tari ini jauh sebelum wafat, sebenarnya R Sambas Wirakoesoemah telah menunjuk Abah Ondik yang kala itu masih duduk di bangku Sekolah Dasar (SD) untuk menjadi juru kendang di perguruan tari tersebut. Kemudian pada 1964 perguruan tari ini kembali menggelar latihan dengan juru latih Abah Ondik, anak dari juru rebab Perguruan Tari Wirahmasari bersama cucu R. Sambas bernama R Abay Soebardja (Pak Abay). Perguruan tari ini dibuka kembali di Gedung Nasional Cicalengka selama 3 tahun, di bawah asuhan kolonel Tatang Maulana.

Waktu terus berjalan, usia Abah Ondik pun semakin tua dan tidak bisa lagi mementaskan tarian ini dengan rutin. Hal tersebut membuat eksistensi Tari Badaya Wirahmasari Rancaekek semakin menurun seakan tidak lagi dikenal di wilayahnya sendiri dan hanya dikenal di kalangan terbatas khususnya para akademisi seni. Namun atas upaya R. Nugraha dan Irawati serta seniman lain Tari Badaya Rancaekek direkonstruksi sehingga kini tari Badaya Rancaekek mampu eksis kembali di tatar Sunda.

 

Penulis : Widi Eka Yulita

Editor    : Muhammad ‘Afaf Hasyimy

Posting Komentar untuk "Problematika Pelestarian Tari Badaya Wirahmasari Rancaekek"