MENYIKAPI KEMBALI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI ‘TUNTUAN’ DAN ‘TONTONAN’ (Part 3)

Makalah di Sajikan Pada Seminar dan Sarasehan
Peningkatan Mutu Berkesenian Berbasis Tontonan dan Tuntunan
Penelienggara Dewan KIesenian Kabupaten Malan (DKKM) 12 Juli 2022

Suasana pembukaan seminar dan sarasehan (Foto ist.)
            Damaritotimes. Tontonan dan tuntunan dalam eksistensi seni pertunjukan tradisional di Malang atau di Jawa Timur pada umumnya. Membutuhkan implementasi yang bersifat praktis, karena ‘tontonan’ dan ‘tuntunan’ bukan hal yang bersifat filosofis.

Bahwa pertunjukan wayang kulit dapat untuk digunakan sebagai media dakwah, hal tersebut merupakan fenomena umum dan bersifat hitoris. Karena fungsi seni pertunjukan yang menunjukan potensi verbal visual sangat potensi untuk menyampaikan pesan-pesan dari religi tertentu. Bahkan dapat menggali empati secara mendalam. Namun ketika di abad digital telah membalikkan zaman, hal tersebut menjadikan seni pertunjukan mengalami peminggiran, dijauhkan dari masyarakatnya yang secara klinis masih membutuhkan rehabilitasi atas gelombang modernitas; individual, personal, serta berbudaya konsumtif.

Bakan juga tontonan, hal ini tidak hanya dimaknai sebagai skularisasi dari tuntunan, namun tontonan adalah fenomena umum bagi sesuatu yang memang memiliki sifat sebagai pertunjukan yang berkonotasi dengan ekonomisasi. Sehingga seniman terdorong dalam aktivitas jasa pertunjukan, sehingga ada sebuah rentang jarak yang sangat jauh, dimana seni (dalam hal ini yang tampak sangat jelas di bidang sastra) sastrawan adalah pujangga. Sebuah strata sosial yang sangat tinggi, setara dengan seorang pendeta. Kemudian mereka harus bertransformasi sebagai penjual jasa yang tidak lebih sebagai pedagang yang menempati kasta Waisya.

Dalam berbagai era perkembangan seni pertunjukan menunjukan, bahwa seni pertunjukan memang diminati untuk digunakan sebagai tontonan, sebagai bentuk kuno seni pertunjukan tersebut disebut menmen, yang berikutnya diidentivikasi sebagai seni barangan atau amen. Hal tersebut disebabkan karena sifatnya yang berada di ruang sosial. Sehingga masyarakat menyaksikan menjadi sebuah kondisi yang tidak dapat dielakan lagi. Bahkan sementara jika orang meninggalkan, dan atau tidak mau menonton karena berbagai alasan personal. Karena mereka memang tidak mempunyai harapan yang dapat digunakan untuk kepentingan pribadi atau kelompok. Sehingga waktu mereka akan lebih baik digunakan untuk kepentingan yang lain.

Hal tersebut akibat dari transformasi, seni yang bertarap luruh di ciptakan oleh para pujangga, kemudian dikerjakan hanya sekedar membuat orang dapat terhibur. Maka waktu untuk menikmati hiburan tidak bisa berlama-lama, karena akan mengalami kesadaran, bahwa orang yang sedang dalam kondisi penat menjadi semakin capai. Terlebih tampilan yang disajikan tidak menghibur, tapi memberikan banyak petuah, tentunya menjadi semakin penat.

Intinya masyarakat di era melenial ini tidak ingin digurui, diberikan petuah, diberikan nasehat didepan umum. Karena ego mereka memang sudah semakin tinggi, terlebih ilmu pengetahuan yang ada di otaknya memang benar-benar telah mencapai tarap yang sangat tinggi, termasuk kedudukannya yang juga tinggi. Sehingga meninggalkan pertunjukan pada  waktu 10-15 menit ketika berlansungnya pementasan memang dapat dimaklumi. Seni pertunjukan tidak mampu memberikan ‘tuntunan’ bagi mereka. Sementara pada waktu yang lampau, raja mampu mengikuti dan  berkontemplasi hingga 3 – 8 jam pada penampilan tari Bedhaya atau wayang wong berlangsung. Karena yang mencipta seni pertunjukan itu adalah para pujangga, kastanya lebih tinggi dari ksatria.

Tentunya para hadirin juga memaklumi hal tersebut.




Penulis                  : R. Hidajat
Editor                    : Muhammad Affaf Hasiymi

Posting Komentar untuk "MENYIKAPI KEMBALI SENI PERTUNJUKAN SEBAGAI ‘TUNTUAN’ DAN ‘TONTONAN’ (Part 3)"