Transformasi Ekspresi Etnik Jawa dalam Seni Pertunjukan Ludruk di Malang

Damariotimes. Memasuki penghujung tahun 1990-an, Ludruk di Malang mulai dalam kondisi yang sudah tidak lagi seperti ludruk masa tahun 1950-an. Hal tersebut tentunya sangat wajar, karena masa tahun-tahun tersebut merupakan awal pertumbuhan. Mengingat beberapa tokoh seni pertunjukan ludruk yang mengaku telah berproses pada tahun 1930-an, umumnya mereka berasal dari perkumpulan ludruk dari Surabaya.

Ilustrasi ludruk (Wikimedia Commons)

                Di Malang pertumbuhan ludruk menjadi semakin semarak dan menjadi pertunjukan yang vaforit di tahun setelah kemerdekaan republik Indonesia. Sungguhpun masa-masa itu, perekonomian Negara Republik Indonesia masih sangat lemah. Bahkan juga masih terjadi perang, namun kondisi tersebut yang membuat dokungan bagi pertumbuhan ludruk sebagai ekspresi etnik Jawa Timur yang bersifat heroik. Lakon-lakon ludruk yang sekarang dipandang kelasik tumbuh di tahun-tahun tersebut.

                Seperti berbagai bentuk lakon yang benar-benar mempropokasi rakyat, bahwa perjuangan mengusir penjajah masih sangat kuat menjadi bagian penting. Sehingga berbagai bentuk kidungan menjadi ekspresi yang benar-benar tumbuh sebagai ungkapan penyemangat perjuangan, sementara tumbuhnya lakon-lakon ludruk klasik, seperti Sarip Tambak Oso, Pak Sakerah, Branjang Kawat, Sawunggaling, Joko Sambang,  atau Si Pitung di Hukum Gantung dan  Gagak Lodra. Lakon tersebut menjadi bagian yang telah tumbuh menjadikan ludruk sebagai tempat yang sangat tepat.

                Sungguhpun terjadi pergolakan politik, dan ludruk mulai tumbuh kembali di tahun 1970-an, lakon-lakon klasik tersebut mampu diungkapkan kembali. Sungguhpun hal tersebut telah terjadi transformasi sosial. Semangat yang digelorakan telah dibentuk oleh konsep pembangunan dan mengukuhkan Pancasila sebagai dasar negara Republik Indonesia.

                Masyarakat Jawa Timur yang heroik telah memaknai perkembangan ludruk sebagai tempat untuk menyemangati hidup berbangsa dan bernegara. Tidak lagi upaya untuk mengusir penjajah, namun peristiwa masa lalu digunakan sebagai landasan untuk membangun cita-cita memperkuat kemerdekaan. Mengekspresikan Republik Indonesia menjadi negara yang memiliki Pancasila sebagai dasar negara, dan kesatuan serta persatuan bangsa menjadi tujuan yang utama.

                Penghayatan para tokoh-tokoh ludruk di Malang menjadikan Ludruk sebagai sebuah kendaraan untuk mendorong tujuan berbangsa dan bernegara. Artinya pada tahun-tahun 1970-an memang dibutuhkan dalam mendorong semangat untuk menggalang persatuan dan kesatuan untuk membangun masyarakat Indonesia. Mengingat kondisi tragedi politik yang dialami oleh masyarakat di Jawa Timur, dan masyarakat Indonesia pada umumnya benar-benar membutuhkan semangat. Artinya ludruk dapat digunakan sebagai terapi sosial.

                Penulis menghayati hal perkembangan ludruk pada tahun 1970-an menjadi sebuah era transformasi ekspresi etnik Jawa. Bahkan dengan ludruk, ekspresi etnik Jawa masih dapat atau masih mampu untuk direkonstruksi kembali. Sehingga Jawa sebagai etnik yang memiliki jiwa keluhuran dan kewibawaan dapat dibangun kembali. Ludruk masih mampu meletakkan dasar-dasar tersebut, sehingga dalam perkembangan sosial masyarakat Jawa masih mengetahui akar budaya etniknya.

                Penulis membayangkan, jika Ludruk tidak berperan dalam hal tersebut, maka masyarakat Jawa yang masuk dalam era melenial ini akan kehilangan orentasi budayanya. Hal ini dibuktikan masih kuatnya dialek Jawa ngoko yang menjadi bagian utama dari dialog ludruk masih dikenali oleh generasi muda.



Penulis                 : R. Hidajat
Editor                   : Marsam Hidayat

Posting Komentar untuk "Transformasi Ekspresi Etnik Jawa dalam Seni Pertunjukan Ludruk di Malang"