Panji Asmarabangun dan Dewi Candrakirana

Damariotimes. Dalam Wayang Topeng di Malang Jawa Timur. Lakon yang ditampilkan adalah lakon Panji. Dalam lakon tersebut di ceritakan kisah percintaan antara Panji Asmarabangun dan Dewi Candrakirana (Sekartaji).

Lakon yang ditampilan bersifat simbolik, yaitu menampilkan eksistensi keberadaan unsur laki-laki dan wanita. Para narasumber yang menhayati pengetahuan kejawen mengartikan dengan istlah sajodo.

Topeng Panji Asmarabangun dan Dewi Candrakirana (Sekartaji) (Foto Ist.)
Laki-laki dan wanita telah ditakdirkan menjalin perjodohan. Hal  ini   memberikan pemahaman adanya pertemuan antara bapa (ayah) dan Biyung (ibu). Pertemuan ini ditujukan untuk menghadirkan roh Ilafi (roh idlafi) atau Mul Himah. Demikianlah para tokoh wayang topeng yang hidup sekitar tahun 1940-an. Kenapa demikian, karena para pelaku seni pertunjukan itu memang menghayati wayang topeng sebagai keyakinan spiritual.

Hubungan perjodohan memang dibutuhkan lambang untuk memberikan pamor yang spektakuler, yaitu dengan membangun simbilisme dalam tokoh Panji Asmarabangun dan Galuh Candrakirana, yaitu ditunjukan sebagai sebuah siklus pergantian siang dan malam, yaitu Panji sebagai Matahari dan Candrakirana sebagai Bulan Purnama. Perwujudan simbolis yang umum dijumpai pada benda pemujaan masa Jawa Timur adalah  lambang kesuburan, dalam wujud lingga-yoni, atau lumpang-alu, cowek-muntu (ulek-ulek).

      Bulan Purnama merupakan saat yang sangat magis dan sekaligus religius, karena dalam kondisi itu bumi mengalami perubahan yang akan dialami manusia dan binatang, yaitu salah satunya adalah naiknya lebido, sehingga menjadi masa kawin dari berberapa satwa, termasuk kucing.

      Sebagai contoh, penjelasan yang seringkali diungkapkan Karimoen, salah satu tokoh wayang topeng dari Desa Kedungmonggo Pakisaji Kabupaten Malang. Kedudukan dari Dewi Galuh Candrakirana (Sekartaji) dan Panji Asmarabangun ditemukan menjadi sajodo yang disebut Garwa, yaitu akronim dari Sigarane nyawa. Hal ini memberikan pemahaman bahwa, laki-laki dan perempuan itu hakekatnnya adalah satu. Maka ini yang dimaksud dengan pemahaman religiusitas kejawen yang disebut Loro-loroninge a-Tunggal (dua menjadi satu).

Pemahaman tersebut ada dalam konsep kekuasaan Jawa yang disebut dengan istilah Dewa Raja, yaitu pengertian Raja sebagai legitimasi dan sekaligus maniverstasi  dari kekuasaan raja-raja Jawa.

Menyimak hal tersebut, Panji Asmarabangun yang dikemudian hari akan mendapatkan legitimasi untuk menggantikan ayahandanya, Panji Lembu Amilihur yang dipersepsi sebagai: Samiaji atau Darmakesuma raja dari kerajaan Amarta.

      Oleh karena Panji membutuhkan pengalaman, yaitu selalu ditakdirkan untuk berkelana menjadi rakyat jelata. Dalam pengembaraannya selain sebagai laku satria, Panji Asmarabangun juga  mencari istrinya yang hilang/menghilang dari istana.

Perjalanan ini memiliki aspek sosio politis, yaitu seorang raja Jawa tidak lagi dipersepsi sebagai manivestasi dewa, tetapi merupakan maniverstasi dari rakyat, atau harus mendalami dan memahami hakekat rakyat. Sehingga Panji diperjalankan untuk dapat mendengar dan melihat kondisi rakyatnya. Pada M. Soleh Adi Pramono, salah satu dalang wayang topeng di Malang mengartikan lelana ing laladhan sepi.

 

      Jika disimak bentuk pemikiran politik raja-raja Jawa mulai bergeser dari sikap raja-raja  Jawa bermanivestasi sebagai Dewa. Kemudian lakon Panji memahamkan tentang realitas politik pada zamainya. Sastra panji lebih terkenal sebagai sastra rakyat ketimbang sastra istana. Karena pola cerita yang dibangun lebih berorentasi pada rakyat, dan bersifat realistik terhadap kehidupan manusia. Dewa tidak banyak dihadirkan membantu problematika kehidupan dari para satria Jawa.


       

Penulis             : R. Hidajat
Editor               : Harda Gumelar

Posting Komentar untuk "Panji Asmarabangun dan Dewi Candrakirana"