Ceng Beng: Siarah kubur leluhur masyarakat Tionghoa

DAMARIOTIMES - Setiap etnik memungkinkan memiliki cara untuk menghormati leluhur yang telah berpulang ke alam baka. Seperti siarah kubur yang dilakukan oleh masyarakat Thionghoa, yaitu disebut Ceng Beng. Mereka melakukan persiarahan leluhur tersebut pada awal bulan April. Umumnya mereka sudah melakukan satu minggu sebelumnya.

                Bagi masyarakat Jawa yang tinggal di Jawa Tengah, khususnya Yogyakarta atau Surakarta tradisi siarah leluhur tersebut disebut dengan cembengan. Istilah ini dikarenakan karena pelafalan yang tidak dapat dilakukan secara tepat untuk menyebut  Ceng Beng.

Warga Tionghoa melakukan ritual Ceng Beng (ilustrasi). (Foto: Antara/Ari Bowo Sucipto)
                Menurut masyarakat yang umumnya tinggal di sekitar pabrik gula, keramaian yang disebut cembengan ini tepat pada waktu masa panen tebu, dan memasuki  awal dari musim giling tebu. Karena makam-makam masyarakat tionghoa itu umumnya berdekatan dengan pabrik gula, para mandor tebu yang menyaksikan masyarakat tionghoa yang melakukan siarah kubur secara berramai-ramai menyebutnya dengan cembengan. Masa panen tebu dan masa awal giling yang umumnya dilakukan pada awal bulan April menjadi terbiasa dengan sebutan cembengan.

                Lepas dari hal tersebut, tradisi siarah makam leluhur yang dilakukan oleh masyarakat Jawa juga dilakukan pada bulan ruwah, yaitu dilakukan secara bersama-sama membersihkan makam sebelum memasuki bulan puasa. Kegiatannya adalah membersihkan makam dan menaburkan bunga, serta berdoa agar leluhur diberikan pengampuan, diterima amalan dan diampuni berbagai dosa-dosanya. Namun lain halnya dengan masyarakat tionghoa dalam tradisi Ceng Beng. Mereka yang mendatangi makam leluhur bersama keluarga, utamanya anak, menantu, dan para cucu. Di Makam itu juga membersihkan dan melihat kondisi rumput, jika rumput di makam itu hujau dan segar, maka sudah dipastikan leluhurnya dalam kondisi yang bahagia. Di altar makam di tata berbagai makanan, buah-buahan segar, dan juga membakar dupa lidi; hio. Beberapa waktu kemudian di lakukan pembakaran uang-uangan serta membakar kopor yang bersisi pakaian. Semua itu merupakan bahasa simbolik, dengan harapan para leluhur di alamnya tidak mengalami kekurangan dan kesengsaraan.

                Sementara leluhur yang di kremasi dan abunya di larung di laut, para keluarga mendatangi tempat-tempat untuk menaburkan abu jenasah dengan cara menaburkan bunga dan berdoa selama waktu di atas perahu. Setiap perahu ditumpangi oleh keluarga yang masing-masing membawa bunga untuk ditaburkan.

                Tradisi persiarahan ini tentunya sangat menarik, bahkan memiliki arti yang sangat penting untuk memberikan pendidikan karakter pada anak-anak dan cucu mereka. Bahkan bagi masyarakat yang menyaksikan juga mendapatkan suatu pengetahuan yang menarik sebagai kekayaan budaya masyarakat di sekitarnya.



Reporter              : R. Hidajat
Editor                  : Harda Gumelar

Posting Komentar untuk "Ceng Beng: Siarah kubur leluhur masyarakat Tionghoa"