Akar Historis Topeng Dalang Malang (Bagian 5)

Wayang Topeng Wonokerso Tengger (Foto Ist.)
 

D. Peta Persoalan dan Solusi

DAMARIOTIMES - Kendati topeng dalang atau wayang topeng Malang mempunyai akar sejarah panjang, kenyataan terkahir menunjukkan bahwa dari tahun ke tahun jumlah sanggar wayang topeng kian berkurang. Pada dua dasa warsa terakhir sanggar wayang topeng tinggal berada di lereng hingga lembah sisi selatan G. Tengger dan Kawi. Kalaupun masih ada sejumlah sanggar yang tersisa, tak seluruhnya memiliki tingkat “kesehatan” yang sama. Hanya beberapa daripadanya yang pelaku seni dan propertinya lengkap. Pimpinan sanggar senior dan pemain gaek satu per satu meninggal, tanpa diiringi dengan regenerasi yang seimbang, apalagi semakin meningkat. Bilapun proses regenerasi terjadi di sejumlah sanggar, namun kini baru memasuki tahap awal, dengan khalayak sasaran anak-anak dan remaja. Oleh karena itu, kebanyakan pelaku seni to-peng dalang adalah pemula atau seniman yunior, yang baru berada di posisi mambang seni (seniman siswa). Khalayak penanggapnya pun mengalami penciutan, demikian juga frekuensi pementasannya menurun drastis bila dibanding dengan masa sebelumnya. Kesempatan untuk berpentas di tiap sanggar tidak sama. Ada sanggar tertentu yang memiliki frekuensi pemen-tasan cukup tinggi, namun tidak sedikit yang hanya sesekali berpentas. Persoalan lain adalah terbatasnya jumlah perajin topeng kayu. Padahal pengerjaan topeng kayu membutuhkan wak-tu cukup lama lantaran dikerjakan secara manual.

Langkah terseok-seok dari sanggar-sanggar topeng dalang Malangan sekan berjalan sendiri. Tetatih-tatih dengan hanya mengandalkan kekuatannya sendiri yang semakin renta. Peran kerajaan sebagai fasilitator (maecenas) kesenian seperti pada Era Kemonakhian dahulu tidak hadir sama kuatnya di Era Repulik. Peran tiga pemerintahan di Malang Raya (Kota dan Kab. Malang dan Kota Batu) sebagai konservator dan preservator hanya setengah hati. Acara-acara di tingkat SKPD yang disertai dengan hiburan hanya sedikit yang berkenan menanggap topeng Malang. Bahkan, pada perhelatan besar sekalipun, semisal Perayaan Hari Jadi Daerah, alih-alih cenderung menanggap wayang kulit kaliber nasional dengan biaya jauh lebih tinggi daripada biaya pementasan wayang topeng. Festival seni tahunan tiap bulan Caitra sebagima-na dicontohkan oleh maharaja Majapahit (Hayam Wuruk) dan kebijakan pemerintah yang pro kepada seni-budaya seperti diteladankan oleh Kusumawarddhani di nagari Kabalan, kini tak dijejaki oleh penguasa di Malang Raya masa ki. 

Minimal perlu ada salah satu Pemerintah Daerah di Malang Raya yang memprakarsai dan lalu mewujudkan impian “Museum Topeng Dalang Malangan”. Dengan adanya museum itu, kalaupun nantinya terjadi kemungkinan terburuk, yakni topeng Malang berstatus “almar-hum”, setidaknya jejaknya masih disimpan di museum. Pembuatan museum adalah salah satu bentuk upaya dokumentatif. Mustinya ada bentuk upaya dokumentasi lain, seperti pembuatan foto dan film dokumenter, yang dibuat dengan rinci, akurat serta berkemampuan eksplanatif. Riset eksploratif guna mengidentifikasikan karakter topeng Malang maupun studi kasus guna mempetakan pemasalahannya adalah upaya penting lainnya. Karakter yang teridentifikasi itu dapat memberi gambaran tentang kekhasan atau unikum topeng dalang Malang.

 

Semoga tulisan bersahaja ini membuahkan faedah.'

Salam budaya, 'Nusantarajayati'.

Nuwun

 

PATEMBAYAN CITRALEKHA,

Sengkaling 10 Janari 2017

 

Penulis                 : M. Dwi Cahyono

Posting Komentar untuk "Akar Historis Topeng Dalang Malang (Bagian 5)"