Lautan, Ilmu, dan Cinta berlabuh di Dermaga Hati

            DAMARIOTIMES - Kita semua mengenal laut, pantai dan dermaga. Tahukan anda kenapa mereka dibedakan penyebutan namanya, padahal bisa jadi masih di wilayah yangs ama bahkan masih air yang sama?. Hal tersebut menjadi menarik karena manusia, selaku kholifah (pemimpin dan pengelola) di muka bumi yang menjadikan satu tempat tersebut berbeda penyebutan.

Laut, secara umum adalah perairan yang luas dengan karakteristik berair asin karena memiliki kadar garam yang tinggi. Laut sebagai pengurai, apapun bentuk benda hayati yang di masukan ke dalam air laut akan teruarai, baik itu oleh sifat air yg asin atau bisa juga karena biota laut. Namun keunikan laut sebenarnya, dia akan memuntahkan apa saja yang dilemparkan ke dalamnya.

Berbeda penyebutan oleh manusia merujuk pada fungsi yang bisa mereka peroleh dari laut. Dermaga misalnya, merupakan bagian laut yang berair dangkal dengan tepian atau dasar laut yang tidak terdapat bebatuan besar, sehingga kapal-kapal dapat bersandar. Dermaga sebgaja dibuat menjorok ke laut agar kapal dengan baling-baling besar juga dapat bersandar, karena cukup air untuk mengapungkan badannya.

Selanjutnya adalah pantai, yang merupakan bagian laut yang langsung bersentuhan dengan daratan. Pantai memiliki struktur tanah yang hampir datar, yang diisi oleh butiran-butiran pasir yang rata-rata berwarna kuning kecokelatan. Butiran tersebut bercampur dengan bangkai biota laut terutama karang, yang telah hancur hingga berbentuk butiran karena terurai oleh air laut. Indonesia memiliki garis pantai terpanjang ke-2 di dunia. Semua nama yang disebutkan di atas memenuhi fungsinya masing-masing sebagai penunjang bagi kehidupan manusia.

Di pantai cinta kita berlabuh di Demaga Hati (Foto: Fitria Maudy Wardhani)
             Manusia mengungunjungi pantai untuk membangun koneksi antara dirinya dengan alam. Seringkali koneksi atau keterikatan tersebut lebih bersifat batiniyah. Tidak seorangpun mengabil sesuatu dari pantai kecuali hanya apa yang cukup digenggaman tangannya. Karena yang lebih besar dari itu yang manusia peroleh adalah kedamaian, keceriaan dan relaksasi.

Tak heran, beberapa waktu yang lalu ketika Raja Kerajaan Arab Saudi, Raja Salman bin Fath ketika berkunjung ke Bali menyewa areal pantai yang amat luas hanya untuk dirinya dan keluarga kerajaan saja. Lebih dari 8 jam sehari raja Salman hanya duduk santai di tepian pantai sambil memandangi laut. Tanpa tamu dan tanpa perbincangan politik.

Dua sejoli berjalan santai di tepian pantai, dekat dengan batas air laut menyetuh permukaan pasir. Membincangkan sesuatu yang jauh dari serius, hanya candaan dan beberapa lawakan yang semakin menjadikan terik matahari tak terasa dan hanya meninggalkan kesejukan.

Keduanya nampak menikmati suasana di pantai tersebut yang memang memanjakan mata dan mendamaikan batin mereka. Pasir pantai yang berwarna kuning gading, bersih dan nampak bersahabat dengan setiap kaki yang melangkah di atasnya tanpa sekalipun melukai kaki-kaki tersebut. Deburan ombak kecil yang mencapai bibir pantai silih berganti sepanjang masa. Suara debeburannya silih berganti bagai sebuah ritme dalam lagu yang tak dapat disaingi oleh orkestra manapun.

Wajah dua insan yang ceria merekah di bawah sinar matahari yang terik. Justru terik matahari menandakan waktu yang tepat untuk mengunjungi pantai. Keduanya nampak terlibat dalam obrolan santai yang tidak sedikitpun membahas tentang keindahan pantai tersebut meski mereka menikmatinya. Tenggelam di dalam rengkuhan alam dan buaian suara debur ombak yang sapuannya mampu melenyapkan setiap permasalahan yang ada, meski hanya sementara. Itulah mengapa meraka, dua sejoli ini mengunjungi pantai sebagai pelampiasan hausnya akan kebebasan.

Laut menjadi perlambang luasnya keilmuan, hingga Al-Qur’an pun menggambarkan, andai seluruh pepohonan dimuka bumi menjadi pena dan lautan menjadi tintanya, niscaya tidak akan sanggup untuk menuliskan ilmu Alloh SWT. Lautan dalam perlambang sufistik juga diartikan yang sama, sebagai gambaran ilmu.

Jika dikaitkan dengan mitologi yang hingga saat ini masih diyakini oleh masyarakat Jawa ialah nabi Haidar (Khidir) yang amat gemar bertadabur dengan alam. Dan tempat yang menjadi favoritnya adalah tepian laut atau pantai. Hal ini tergambar dalam serat “Dewaruci” karya Sunan Kalijaga dimana ketika Bima (representasi sunan Kalijaga) bertemu dengan Dewaruci (yang merupakan representasi dari nabi Khidir) juga di tepi pantai. Hal tersebut menjadi bermakna simbolis, bahwa nabi Khidir sangatlah dekat dengan sumber keilmuan.

 

 

 

Penulis             : Denny Hendrifika
Editor               : Muhammad ‘Affafh Hasiymy

Posting Komentar untuk "Lautan, Ilmu, dan Cinta berlabuh di Dermaga Hati"