Kukis Toko Kue Madjoe Jejak Lidah Kolonial di Kota Malang

Toko Madjoe di Jalan Pasar Besar No. 30B, Kota Malang (Foto Ampri)
 

DAMARIOTIMES - Masyarakat Kota Malang tidak akan menyangka jika The Tjoe Kam adalah pemilik pertama dari sebuah toko kue yang bercitra rasa otentik di Jalan Pasar Besar No. 30B, Kota Malang itu. Toko yang berwajah kuno dengan tatanan toples kue yang ditata unik dengan isi kue-kue kukis yang tertata rapi bertumpuk rapi menjadi pemandangan yang khas jika memasuki toko kue tersebut. Masyarakat Kota Malang lebih mengenalnya sebagai Toko Madjoe.

Aroma dari pemanggangan kuepun terkadang menguar menyapa pembeli jika proses kue-kue itu dipanggang dalam open yang tidak jauh dari toko, sehingga terkadang pembelipunj dijinkan menengok bagaimana kue-kue bercita rasa itu di proses. Toko Madjoe seakan menjadi jawaban dan pelengkap jika Malang kala itu memang menjadi Het Dorado van Oost Java.  Malang pada lampaunya merupakan sebuah pedalaman yang sejuk, dengan rerindangan pohon-pohon yang menjulang angkuh dan tua. Maka Irvan Sjafari dalam tulisannya menyebutkan bahwa karena kondisi geografis yang sangat dingin, dan letak Malang berada di ketinggian 450 meter di atas laut, di antara Gunung Arjuno, Semeru dan Kawi serta dibelah oleh sungai Brantas memberikan hawa yang sejuk dan cocok bagi peristirahatan orang-orang Eropa.

Malang pada akhirnya menjadi tempat peristirahatan masyarakat Eropa. Pada tahun 1905 penduduk Eropa di Kota Malang mencapai 1400 orang. Pada 1914 ketika Malang dinyatakan sebagai  kotapraja  jumlah penduduk  Eropa meningkat hampir dua kali lipat menjadi sekitar 2500 jiwa. Pada 1930 jumlah penduduk Eropa menjadi 7661 jiwa. Penduduk Eropa termasuk anggota garnisun militer Hindia Belanda untuk Jawa Timur dipusatkan di kawasan Rampal, Kota Malang. Penambahan jumlah populasi orang Eropa ini menunjukkan Kota Malang merupakan kota yang penting bagi pemerintah Kolonial dari segi ekonomi.

Melihat perkembangan Malang yang demikian, maka The Tjoe Kam memutuskan membuat toko kue yang disukai oleh para bangsawan Eropa. Tahun 1930 toko kue itu sudah berada dan banyak dikunjungi oleh orang-orang Eropa untuk sekedar berbelankja kue atau menikmatinya sembari menyeruput seduhan teh pait yang dihasilkan perkebunan teh yang lokasinya tidak jauh dari Kota Malang. Kue-kue kukis produksi The Tjoe Kam semakin banyak diminati, maka resep-resep handal kukis banyak dipraktikan dan dibuat.

Kue kukis buatan Toko Madjoe mendapat tempat tersendiri bagi masyarakat Eropa kala itu, banyak yang menikmatinya hingga terkenal diluar Kota Malang. Banyak jenis kue yang dihasilkan dari toko ini, diantaranya Kransyes, Jan Hagel, Speculas, Kaasstengels, Boterkoek, Banket, Semprit Vanila dan Coklat, Kenari, Nastar, Ransis, Pindakoeken, Sagon, Coklat Kacang, dan lain-lain. Totalnya berjumlah 25 jenis kue, semua menjadi legenda hingga sekarang.

Kini toko kue Madjoe dikelola oleh The Bian Liep, generasi ketiga dari The Tjoe Kam sang pemilik toko kue tersebut. Dari tahun 1930, toko kukis tersebut telah berusia 91 tahun,  resep-resep rotinya masih terjaga, aroma dan rasanya yang primadona tidak berubah, anekaragam jenis kuenya selalu tersedia, warna-warna kue yang senada coklat dan kuning keemasan selalu terpajang rapi dalam toples-toples besar, sehingga pembeli menikmati pemandangan yang unik dari toko kue itu sendiri.

Toko Madjoe meninggalkan jejak aroma rasa dari masa lalu….

 

 

 

Kontributor          : Ampri Bayu Saputro
Editor                   : Harda Gumelar

Posting Komentar untuk "Kukis Toko Kue Madjoe Jejak Lidah Kolonial di Kota Malang"