Manten Pegon Menjadi Solusi Ritualitas Imajiner Di Era Covid-19

DAMARIOTIMES - Saat pembelakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat yang diberlakukan pemerintah mulai tanggal 3-20 Juli 2021, yang berikutnya diperpanjang hingga 16 Agustus 2021. Keluhan dimasa pandemi COVID-19 yang melanda Indonesia menjadi banyak kesedihan, bahkan banyak terdengar keluhan dari teman-teman yang akan melangsungkan upacara pernikahan.



Pernikahan di Era PPKM Darurat (Foto: Pudjastawa)

 Mereka tidak dapat membuat pesta upacara pernikahan seperti pada kondisi normal. Karena tidak mendapatkan ijin dari Satgas COVID-19 di tingkat kelurahan. Banyak dari mereka akhirnya tidak melaksanakan rangkaian adat pernikahan Jawa secara utuh.  Hal yang demikian itu ternyata terjadi juga pada penulis, yang harus menyelenggarakan pernikahan pada tanggal 8 Agustus 2021. Ternyata pernikahan itu harus melaksanakan di era PPKM darurat, ketika memuncaknya COVID-19 varian baru dari India.

            Sebagai suatu upaya ritualitas sebuah upacara pernikahan dalam tradisi Jawa lahir dari kebiasaan setempat. Pada satu sisi, upacara ini merupakan realitas ritualisasi imajiner sebagai upaya meneruskan jalan mistik-sufistik. Dimana upacara pernikahan akan melewati beberapa proses yang tidak sederhana, diikuti dengan laku ritual puasa, penyucian diri, berkunjung ke rumah sesepuh setempat dan beberapa tahapan sejenis. Semua dilakukan agar Tuhan berkenan memberi secercah cahaya, agar pernikahan dapat berjalan secara hikmat dan lancar.

            Upacara pernikahan akan selalu dihadapkan tantangan dalam masa PPKM ini menjadi ritualisasi imajiner yang dilakukan oleh pelakunya. Maka tak heran pada era PPKM darurat, pelaku pernikahan senantiasa dihadapkan antara dua hal menghilangkan, atau harus melakukan adaptasi.

Pada konteks demikian, peristiwa tersebut membuat upacara pernikahan berada disuatu jurang yang akhirnya menciptakan ruang kosong (imajiner) baru untuk memungkinkan pelakunya melakukan kebebasan berekspresi.

            Hal yang demikian bukan tanpa hambatan, karena merupakan suatu culture yang telah mengakar lama, maka upacara pernikahan di era PPKM darurat akan dihadapkan dalam dua laku kerja yang berlawanan; transendental dan rasionalitas.

Orang Jawa pada umumnya merupakan orang yang rela berlama-lama untuk berkubang pada pemertahanan nilai tradisi yang ada. Karena tradisi tidak sekedar kebiasaan, namun bermakna lebih mendalam.

            Manten Pegon merupakan salah satu jenis ritual pernikahan yang dapat mengakusisi perubahan zaman, dan dipandang tak ketinggalan zaman. Pegon bermakna 'ora mligi cara Jawa' (tidak khusus cara Jawa) upacara ritual ini seolah lahir dari mereka yang berupaya mendekonstruksi adat lama yang dirasa tak lagi sesuai tuntutan zaman.

Pada upacara pernikahan jenis ini, kita diajak melihat upacara pernikahan sebagai sesuatu kegiatan yang mutakhir laksana pernikahan ala barat dengan panggung besar, gemerlap warna-warni, dan pengeras suara menggelegar. Hal ini merupakan sebuah ekspresi sosial, untuk merengkuh sanak saudara jauh dan dekat.

            Ruang kosong memang sesuatu hal yang sengaja diciptakan dalam pernikahan adat Manten Pegon. Upaya ini tercipta untuk menarik imajinasi sub-culture Arek untuk turut larut dalam hamparan negosiasi nilai budaya setempat mereka.

Ruang kosong ini selalu memberi kebebasan bagi pelakunya untuk menentukan citra dan karakter pernikahan mereka sendiri yang sangat mempribadi. Indikasinya, dalam ruang kosong itu, kita bisa melihat adanya banyaknya multi tafsir dan variasi yang akan terus lahir dan terus berkembang tanpa tahu kapan akan berakhir.

            Di titik itulah kekuatan utama sebuah budaya akan lahir. Pelaku tanpa sadar diajak terlibat dalam “membuat bangunan budaya”. Oleh karena itu pula Manten Pegon yang baik adalah yang tidak hendak menuju kesempurnaan selayaknya upacara pernikahan pada adat lain. Manten Pegon tidak untuk mengandalkan sebuah ketepatan dan kebenaran, tapi kadang bermain-main di wilayah abu-abu, benar dan salah kemudian menjadi sangat relatif. Pada sisi praktis Manten Pegon merupakan upaya menanggapi keresahan dari pelakunya.


Penulis             : Astrid Wangsagirindra Pudjastawa & Ella Jayahuda Prasety
Editor              : Muhammad ‘Afaf Hasyimy

Posting Komentar untuk "Manten Pegon Menjadi Solusi Ritualitas Imajiner Di Era Covid-19"