Sistem Visual Digital dan Moralitas yang Terboceng: Sebuah Refleksi Era Media Sosial

 




sosial media yang mengkoneksikan setiap individu (Sumber AI)


Damariotimes. Di tengah hiruk pikuk kehidupan modern, fenomena menarik dan seringkali luput dari pengamatan adalah hadirnya teknologi digital, utamanya media sosial, telah melampaui fungsi aslinya dan merajut jaring-jaring baru yang berinteraksi langsung dengan dimensi terdalam kemanusiaan: moral, religiusitas, dan empati. Apa yang sebut sebagai "sistem visual digital" –istilah yang mungkin belum baku namun secara intuitif menangkap esensi visualisasi dan penyebaran informasi yang cepat – kini bukan lagi sekadar alat komunikasi. Ia telah bertransformasi menjadi katalisator, bahkan panggung utama, bagi drama moralitas kolektif, dengan kemampuan luar biasa untuk memboceng dan mengamplifikasi nilai-nilai yang sudah tertanam di benak manusia.

Fenomena ini tampak begitu nyata dalam setiap jengkal ruang digital. Dulu, teknologi dirancang untuk efisiensi, konektivitas, atau hiburan. Namun, seiring waktu, menyaksikan tentang perangkat yang sama kini menjadi medan pertempuran ideologi, tempat curahan simpati, dan arena mobilisasi massa. Mekanisme afiliasi antara teknologi digital dan moralitas ini begitu halus namun kuat. Algoritma yang mendasari platform-platform ini, tanpa disadari, seringkali cenderung memprioritaskan konten yang memicu emosi kuat; baik itu kemarahan, kebahagiaan, atau kesedihan; sehingga secara inheren mempercepat penyebaran narasi yang sarat muatan moral. Manusia, dengan fitrahnya sebagai makhluk sosial yang sensitif terhadap ketidakadilan, menemukan media sosial sebagai megafon yang tak pernah ada sebelumnya.

Contoh paling mencolok dari afiliasi moralitas yang "terboceng" oleh teknologi ini adalah insiden kerusuhan di Sleman, Yogyakarta, pada 3 Juni 2025. Sebuah kasus keterlambatan pengiriman makanan yang berujung pada penganiayaan seorang pengemudi ojol oleh pelanggannya, secara instan menyulut api kemarahan kolektif. Kejadian ini, yang seharusnya mungkin hanya menjadi urusan pribadi, dengan cepat menyebar bak api di padang rumput digital. Gambar, video, dan narasi simpati mengalir deras di berbagai lini masa. Empati yang semula terpendam di hati ribuan pengemudi ojol lainnya, yang mungkin juga pernah merasakan pahitnya perlakuan tak adil, kini menemukan ruang ekspresi dan orkestrasi di media sosial.

Apa yang terjadi selanjutnya adalah mobilisasi massa yang spontan dan masif. Media sosial tidak hanya menjadi corong informasi, tetapi juga pusat komando tak terlihat yang secara efektif mengorganisir ratusan, bahkan ribuan, pengemudi ojol. Mereka bergerak serentak, didorong oleh rasa solidaritas dan tuntutan keadilan, mendatangi kediaman pelaku penganiayaan. Puncaknya, insiden ini berujung pada kerusuhan yang menunjukkan betapa kuatnya daya pengerak empati yang dimediasi oleh teknologi digital. Ini bukan lagi sekadar reaksi individu, melainkan restrukturisasi tindakan manusia yang terinspirasi dan diorganisir melalui jejaring sosial.

Lebih dari sekadar memfasilitasi respons emosional, media sosial telah menciptakan dan menstrukturkan sistem tindakan manusia itu sendiri. Norma-norma sosial baru, seperti solidaritas kuat di antara komunitas profesi tertentu, diperkuat dan bahkan ditegakkan melalui "pengadilan publik" di dunia maya. Tekanan untuk "berpihak" pada korban, atau untuk mengutuk pelaku, menjadi begitu kuat sehingga memengaruhi perilaku dan keputusan individu di dunia nyata. Ini adalah evolusi di mana digital tidak lagi menjadi cermin realitas, melainkan kekuatan aktif yang membentuk dan mengarahkan tentang berpikir, merasa, dan bertindak sebagai secara kolektif. Teknologi, yang semula netral, kini menjadi partisipan aktif dalam pembentukan dan penegakan moralitas sosial, memboceng sensitivitas manusia untuk memicu reaksi dan mengukir sejarahnya sendiri.

 

Penulis: R.Dt.

 

Posting Komentar untuk "Sistem Visual Digital dan Moralitas yang Terboceng: Sebuah Refleksi Era Media Sosial"