![]() |
Alumni ASTI angkatan 82: Djancuk tenan (Foto ist.) |
Damariotimes. Yogyakarta, 28 Juni 2025. Suasana hangat dan penuh tawa menyelimuti Warung Soto Djiancuk di Yogyakarta. Sekelompok alumni ASTI (Akademi Seni Tari Indonesia) Yogyakarta yang kini tergabung dalam kepengurusan IKASTISI (Ikatan Alumni Seni Tari Indonesia) sekaligus panitia Reuni Akbar “Pulang Kampus” 2025, menyempatkan diri untuk berkangen-kangenan di tempat makan legendaris ini.
"Djiancuk": Ungkapan
Persahabatan di Warung Soto Khas Blitar
Suparjinah, sang pemilik Warung Soto
Djiancuk, menyambut para tamu dengan logat Jawa Timur yang kental, seolah ingin
menekankan makna unik di balik nama warungnya. Bagi sebagian orang, kata
"djiancuk" mungkin terdengar kasar atau sebagai umpatan. Namun, tidak
demikian halnya bagi Suparjinah. Ia justru menganggap "djiancuk"
sebagai ekspresi keakraban dan persahabatan yang erat, lazim diucapkan di
antara teman lama yang sudah sangat akrab.
"Kami yang asli Jawa Timur yang
datang ke warung ini benar-benar nyeletuk, 'Djancuk, enak sotonya!'" tutur
salah seorang alumni dengan nada jenaka, membenarkan filosofi Suparjinah.
Warung Soto Djiancuk sendiri telah
hadir di Yogyakarta sejak tahun 2000, menyajikan soto khas Blitar, Jawa Timur.
Pemberian nama "djiancuk" ini juga merupakan penegasan akan keaslian
soto Blitar yang disajikan di warung tersebut. Suparjinah mengakui bahwa nama
warung ini adalah ide dari suaminya yang asli Blitar. Berkat sang suami,
Suparjinah pun terbiasa dengan kata "djiancuk" dan tak lagi
menganggapnya sebagai umpatan kasar, melainkan sebagai kata sehari-hari yang
umum diucapkan di Jawa Timur.
Secara tidak langsung, Suparjinah mengungkapkan kecintaannya pada Blitar melalui soto khas Blitar yang ia sematkan dengan nama "Djiancuk" ini. Ia bahkan telah "menjatuhkan hati" pada seorang pria Blitar untuk menjadi teman hidupnya. Resep soto khas Blitar ini sendiri, diakui Suparjinah, ia dapatkan dari nenek buyut suaminya. Dari sanalah ide untuk berjualan soto khas Blitar muncul, dan kini berlokasi di Jln. PGRI II No. 59, Sonopakis Lor, Kecamatan Kasihan, Kab. Bantul, Yogyakarta.
Keunikan Rasa Soto Djiancuk: Berbeda
dari Soto Jogja pada Umumnya
Seorang alumni yang sudah lama
tinggal di Yogyakarta menjelaskan keistimewaan Soto Djiancuk. "Soto
Djiancuk khas Blitar ini memang rasanya berbeda dengan kebanyakan soto Jogja
yang cenderung manis dengan ayam bacemnya. Racikan rempah-rempahnya khas soto
Blitar yang nendang," ujarnya.
Alumni lain yang berasal dari
Malang, Jawa Timur, menambahkan, "Soto Djiancuk ini memang asli daerah
Kediri, Blitar, atau Tulungagung. Karena di Jawa Timur yang banyak dijual orang
adalah Soto Lamongan yang menggunakan daging ayam, dan Soto Madura yang
menggunakan daging sapi."
Soto Djiancuk disajikan dalam
mangkuk berukuran kecil, namun isinya penuh hingga ke bibir mangkuk. Oleh
karena itu, setiap penyajian selalu dilengkapi dengan piring lepek agar kuah
soto tidak tumpah.
Kuah kaldu sapi yang gurih dan segar menjadi ciri khas Soto Djiancuk. Komposisinya terdiri dari tauge segar, irisan daging sapi, bihun, irisan tipis kentang goreng, seledri, irisan tomat, taburan bawang goreng, dan irisan telur rebus. Bumbu rempahnya sangat terasa, bahkan tanpa perlu tambahan seperti kecap, sambal, atau perasan jeruk nipis. Sebagai pelengkap, di setiap meja tersedia piring berisi mendoan, serta sate ayam dan sate keong sebagai pilihan lauk tambahan. Harganya pun cukup terjangkau, hanya Rp12.000 untuk nasi campur soto, dan Rp15.000 untuk nasi pisah.
Perubahan dan Konsistensi Warung
Soto Djiancuk
Meski waktu terus berjalan, dan
beberapa hal telah berubah dari Warung Soto Djiancuk, rasa sotonya tetap
konsisten sejak didirikan 18 tahun silam. Dulu, warung ini memiliki dua
bangunan, yaitu di dalam rumah dan bangunan joglo di sebelah baratnya. Kini, hanya
satu bangunan di dalam rumah yang digunakan. Bahkan, Soto Djiancuk food truck
yang dulu sempat meramaikan Jalan Magelang juga sudah tidak beroperasi lagi,
karena Suparjinah tidak ingin merepotkan anaknya mengurusinya, meskipun sang
anak tak keberatan membantu.
Tatanan perabot di warung yang
sekaligus menjadi rumah bagi pemiliknya itu pun masih sama. Lukisan-lukisan
berukuran besar di atas kanvas, yang dilukis sendiri oleh suami Suparjinah,
seniman lukis, masih terpajang rapi. Suami Suparjinah memang memiliki peran
besar dalam menata interior dan eksterior warung, sengaja menjadikannya galeri
untuk lukisan-lukisannya. Seorang teman alumni yang tinggal di Yogyakarta, dan
kebetulan juga pernah kuliah di ISI Yogyakarta, berbisik tentang hal ini.
Syukur dan Kebanggaan Alumni ASTI
1982
Sembari mengamati sekeliling ruangan
yang penuh sentuhan seni, para alumni melanjutkan perbincangan mengenai acara
Reuni IKASTISI yang telah berjalan lancar dan sukses. Rasa syukur terpancar
dari wajah-wajah mereka. Mereka berencana akan melakukan pembubaran panitia
pada tanggal 3 Juli 2025 mendatang.
Para alumni ASTI angkatan 1982, yang
sebagian besar menjadi pengurus dan panitia reuni IKASTISI, meluapkan
kegembiraan dan kebanggaan mereka dengan kata-kata yang penuh makna.
"Djancuk, reuni kita berjalan lancar! Djancuk, perjuangan kita benar-benar
memberikan arti penting untuk kelangsungan jurusan seni tari ISI Yogyakarta ke
depan, Djancuk!!" seru mereka, menutup pertemuan penuh nostalgia ini
dengan tawa dan semangat persahabatan yang tak lekang oleh waktu.
Reporte : R.Dt.
Posting Komentar untuk "Reuni Akrab Alumni ASTI Yogyakarta: Nostalgia di Balik Gurihnya Soto Djiancuk"