Digitalisasi, Konflik Budaya, dan Ancaman Keterasingan Etnik: Sebuah Kajian Sosiologis

 



Tari Beskalan hasil fotografer jepang di Malang tahun 1920-an (Foto is.)


Damariotimes. Era digitalisasi dan dominasi media sosial yang semakin canggih telah menghadirkan paradoks sosial yang mencolok. Di satu sisi, konektivitas global yang belum pernah terjadi sebelumnya menawarkan janji akan jembatan antarbangsa dan antarbudi. Namun, di sisi lain, fenomena ini justru memicu kerenggangan dalam kebersamaan sosial, menajamkan konflik budaya, dan ironisnya, mendorong segala sesuatu ke arah legal-formalistik. Pandangan bahwa hal ini mengancam keberlangsungan budaya etnik di masa depan, di mana individu atau kelompok tidak lagi bebas mengekspresikan elemen budaya mereka karena berhadapan dengan klaim kepemilikan atau pewaris, adalah sebuah kegelisahan yang patut dianalisis mendalam. Pertanyaannya, apakah fenomena ini telah dialami di berbagai negara maju, dan bagaimana kita dapat memahami hal ini melalui lensa teori budaya?

 

Merenggangnya Kebersamaan Sosial dalam Lingkungan Digital

Fenomena kerenggangan sosial di tengah laju digitalisasi bukanlah isapan jempol. Meskipun media sosial memungkinkan kita terhubung dengan siapa saja di belahan dunia mana pun, interaksi yang terjadi seringkali bersifat superfisial dan kurang mendalam. Komunikasi tatap muka yang kaya akan nuansa non-verbal, empati, dan ikatan emosional seringkali tergantikan oleh pertukaran teks dan gambar yang ringkas. Hal ini menciptakan ilusi koneksi tanpa substansi, yang pada akhirnya dapat memperlebar jarak sosial di kehidupan nyata. Konsep komunitas virtual yang digagas oleh Howard Rheingold, meskipun menekankan potensi pembentukan ikatan baru, juga mengakui bahwa sifat ephemeral dan anonimitas seringkali mengurangi tingkat komitmen dan tanggung jawab sosial dibandingkan komunitas fisik.

 

Ketika Toleransi Memudar dan Konflik Budaya Menajam

Fenomena ini yang lebih mengkhawatirkan adalah memudarnya toleransi dan menajamnya konflik budaya. Media sosial, dengan algoritmanya yang cenderung menciptakan filter bubble atau echo chamber, memungkinkan individu untuk terpapar hanya pada informasi dan pandangan yang sesuai dengan keyakinan mereka sendiri. Ini memperkuat bias konfirmasi dan secara bertahap mengurangi kapasitas untuk memahami perspektif yang berbeda. Ketika perbedaan budaya dihadapkan pada lingkungan yang terpolarisasi ini, alih-alih memicu dialog, yang sering terjadi justru adalah misinterpretasi, stereotip, dan bahkan permusuhan. Kasus-kasus seperti perdebatan sengit tentang simbol budaya, pakaian tradisional, atau praktik keagamaan di media sosial yang berujung pada saling tuduh dan penghakiman, adalah bukti nyata dari fenomena ini. Perpecahan tidak lagi hanya terjadi antara kelompok etnis atau agama yang berbeda, tetapi juga di dalam kelompok itu sendiri, dipicu oleh perbedaan interpretasi dan klaim atas "keaslian" budaya.

 

Ancaman Formalisasi dan Fragmentasi Budaya Etnik

Pandangan bahwa segala sesuatu akan bersifat legal-formal adalah inti dari ancaman terhadap budaya etnik. Dalam upaya untuk melindungi identitas budaya, yang kerap kali disalahartikan sebagai "kepemilikan", seringkali muncul dorongan untuk mendaftarkan, mempatenkan, atau mengikat elemen budaya dalam kerangka hukum. Ini adalah manifestasi dari apa yang oleh sosiolog Pierre Bourdieu disebut sebagai modal budaya—yakni, pengetahuan, keterampilan, dan praktik yang memungkinkan individu untuk beroperasi secara efektif dalam suatu budaya—yang kini berusaha diinstitusionalisasikan dan bahkan diprivatisasi.

Di masa lalu, budaya etnik seringkali bersifat cair, dinamis, dan terus berevolusi melalui proses adaptasi, asimilasi, dan hibridisasi. Ekspresi budaya, baik secara individu maupun kelompok, adalah bagian dari aliran kehidupan sosial yang alami. Namun, ketika elemen-elemen budaya mulai diklaim sebagai milik eksklusif "pewaris" atau "institusi", ruang untuk eksperimentasi, interpretasi baru, dan bahkan kebebasan berekspresi menjadi terbatas. Seniman, penari, atau musisi yang ingin mengadopsi atau menginterpretasikan ulang elemen budaya dari latar belakang etnik yang berbeda mungkin menghadapi tuduhan apropriasi budaya, bahkan jika niat mereka adalah penghormatan atau apresiasi. Hal ini menciptakan iklim ketakutan dan kehati-hatian, di mana individu enggan mengekspresikan unsur budaya yang bukan "miliknya" secara eksplisit, demi menghindari konflik atau tuntutan hukum. Ini bukan hanya tentang legalitas, tetapi juga tentang pembatasan ruang untuk inkulturasi dan transmisi budaya secara organik.

 

Pengalaman Negara Maju dan Teori Budaya

Fenomena ini memang telah banyak dialami di berbagai negara maju, terutama di Barat, di mana isu-isu identitas, multikulturalisme, dan apropriasi budaya menjadi topik perdebatan panas. Amerika Serikat, Kanada, dan negara-negara Eropa seperti Inggris dan Belanda, dengan keragaman etnis dan budayanya, seringkali menjadi arena di mana ketegangan ini memuncak.

Secara teoretis, fenomena ini dapat dipahami melalui beberapa lensa. Pertama, konsep identitas budaya dari Stuart Hall, yang melihat identitas sebagai sesuatu yang terus-menerus dibangun dan dinegosiasikan, kini menghadapi tantangan serius. Dalam konteks digital, identitas budaya cenderung menjadi lebih rigid dan terfragmentasi, di mana individu lebih memilih untuk mengidentifikasi diri dengan kelompok-kelompok yang sangat spesifik dan eksklusif.

Kedua, teori konflik dari Karl Marx, meskipun awalnya berfokus pada konflik kelas, dapat diperluas untuk memahami perebutan kekuasaan dan sumber daya dalam konteks budaya. Dalam era digital, "kepemilikan" atas budaya—baik itu narasi, simbol, atau praktik—menjadi sumber daya yang diperebutkan, dengan kelompok-kelompok tertentu berusaha mengendalikan dan membatasi akses atau interpretasi orang lain.

Ketiga, teori Habitus dari Pierre Bourdieu membantu kita memahami bagaimana praktik budaya, yang semula terbentuk secara tidak sadar dalam interaksi sosial, kini dihadapkan pada upaya kodifikasi dan formalisasi. Ketika habitus yang bersifat cair ini dipaksa masuk ke dalam kerangka legal-formal, ia kehilangan fleksibilitas dan adaptabilitasnya, berpotensi mengancam keberlanjutan ekspresi budaya yang otentik.

Ancaman terhadap budaya etnik di era digitalisasi bukan hanya soal hilangnya praktik tradisional, tetapi juga tentang pembatasan kebebasan berekspresi, penajaman konflik identitas, dan formalisasi yang berlebihan. Jika tidak diatasi, fenomena ini dapat mengarah pada masyarakat yang terfragmentasi, di mana kreativitas budaya terhambat oleh ketakutan akan klaim kepemilikan, dan toleransi digantikan oleh tuntutan legalistik. Penting bagi kita untuk mencari titik keseimbangan antara perlindungan warisan budaya dan promosi kebebasan berekspresi, serta mendorong dialog yang konstruktif di tengah hiruk pikuk media sosial. Tanpa upaya ini, kekayaan budaya etnik dunia mungkin akan terancam, bukan oleh kepunahan, melainkan oleh keterasingan dan formalisasi yang membeku.

 

Tim Damariotimes.

Posting Komentar untuk "Digitalisasi, Konflik Budaya, dan Ancaman Keterasingan Etnik: Sebuah Kajian Sosiologis"