Terkungkung Algoritma: Ketika Impian Menjadi Komoditas

 

Manusia menghadapi dunia tanpa impian (Sumber AI)


Damariotimes. Pemikiran bahwa individu kehilangan otonomi dalam membentuk impian masa depannya telah disuarakan oleh banyak pakar. Salah satu nama yang paling getol mengemukakan gagasan ini adalah Shoshana Zuboff, seorang profesor dari Harvard Business School. Dalam karyanya yang monumental, The Age of Surveillance Capitalism, Zuboff dengan gamblang menjelaskan bagaimana raksasa teknologi telah membangun sebuah arsitektur global untuk memanen "data perilaku" kita. Data ini kemudian dianalisis untuk memprediksi dan bahkan memodifikasi perilaku kita di masa depan.

Bagi Zuboff, ini bukan sekadar tentang iklan yang dipersonalisasi. Ini adalah tentang dominasi total terhadap ranah pribadi, di mana pengalaman manusia menjadi bahan mentah yang diubah menjadi keuntungan. Ketika setiap klik, setiap like, setiap pencarian kita menjadi data, algoritma mulai "mengenal" kita lebih baik dari diri kita sendiri. Mereka memprediksi keinginan kita sebelum kita menyadarinya, dan kemudian menyajikan kepada kita konten yang menguatkan prediksi tersebut. Dalam konteks ini, bagaimana kita bisa "bermimpi" tentang sesuatu yang berbeda, sesuatu yang tidak terprogram oleh algoritma? Impian kita, dalam logika kapitalisme pengawasan, berpotensi menjadi komoditas yang dapat dimanipulasi untuk tujuan pasar.

 

Distopia Digital: Hilangnya Kapasitas untuk "Yang Lain"

Pemikiran senada juga diungkapkan oleh Evgeny Morozov, seorang peneliti dan kritikus teknologi terkemuka. Morozov, dalam berbagai tulisannya, seringkali menyoroti bahaya solusionisme teknologi, sebuah keyakinan bahwa setiap masalah sosial dapat diselesaikan melalui solusi teknologi yang canggih. Menurut Morozov, obsesi terhadap efisiensi dan optimasi yang didorong teknologi seringkali mengikis kapasitas kita untuk berpikir kritis, berimajinasi, dan bahkan berbuat salah—sebuah elemen penting dalam proses kreatif dan pengembangan diri.

Dalam pandangan Morozov, ketika setiap aspek kehidupan kita diatur dan diukur oleh sistem, ruang untuk "yang lain"—untuk sesuatu yang tidak terprogram, tidak terukur, atau tidak efisien—menjadi semakin sempit. Bagaimana kita bisa membayangkan masa depan yang radikal, yang berbeda dari apa yang telah dihitung dan diprediksi oleh superkomputer, jika setiap langkah kita telah "diarahkan" oleh sistem? Kemampuan untuk berimajinasi melampaui batasan yang ada, untuk menciptakan visi yang belum pernah ada sebelumnya, adalah fondasi dari "mimpi masa depan" yang sejati. Tanpa ruang ini, impian kita berisiko menjadi sekadar variasi dari apa yang sudah ada.

 

Kelelahan Informasi dan Kematian Imajinasi

Selain Zuboff dan Morozov, para filsuf dan sosiolog kontemporer seperti Byung-Chul Han juga memberikan perspektif yang relevan. Han, dengan konsepnya tentang "masyarakat kelelahan" dan "masyarakat pengawasan", menunjukkan bagaimana arus informasi yang tak henti-hentinya dan tuntutan untuk terus-menerus terhubung telah mengikis waktu dan ruang untuk refleksi mendalam. Dalam dunia yang terus-menerus membutuhkan perhatian kita, di mana push notification dan feed media sosial menjadi komandan utama, kapasitas kita untuk kontemplasi dan imajinasi kreatif menjadi tumpul.

Proses bermimpi tentang masa depan, terutama yang bersifat transformatif, membutuhkan waktu untuk berpikir, merenung, dan membebaskan pikiran dari batasan yang ada. Namun, ketika kita terus-menerus disibukkan oleh konsumsi informasi dan interaksi digital yang didikte oleh algoritma, ruang untuk imajinasi ini menyusut. Kita menjadi penerima pasif dari narasi yang disajikan, daripada menjadi pencipta aktif dari narasi kita sendiri. Media sosial, yang seharusnya menjadi platform untuk ekspresi diri, seringkali justru menjadi ruang untuk konformitas, di mana validasi sosial menjadi tujuan utama, dan inovasi pemikiran dibatasi oleh tren yang populer.

 

Membangun Kembali Otonomi Impian

Kekhawatiran yang disuarakan oleh para pakar ini bukanlah tanpa harapan. Mereka justru adalah panggilan untuk kesadaran kritis. Mereka menantang kita untuk mengakui bahwa teknologi, meskipun membawa kemudahan, juga datang dengan konsekuensi yang mendalam terhadap kapasitas kita untuk menjadi subjek yang otonom.

Untuk merebut kembali kemampuan kita dalam "bermimpi tentang masa depan", kita perlu secara sadar menciptakan ruang untuk disrupsi digital, mengurangi ketergantungan pada feed yang terpersonalisasi, dan mencari informasi dari berbagai sumber yang beragam. Penting untuk secara aktif mengembangkan literasi digital yang tidak hanya memahami cara kerja teknologi, tetapi juga mengenali agenda di baliknya. Lebih dari itu, kita perlu mempraktikkan imajinasi radikal: berani membayangkan masa depan yang tidak linier, yang tidak hanya mengulang apa yang telah ada, tetapi menciptakan kemungkinan-kemungkinan baru yang belum terbayangkan.

Masa depan memang tidak sepenuhnya ditentukan. Kita masih memiliki kekuatan untuk membentuknya, asalkan kita bersedia untuk melawan arus, merenungkan secara kritis, dan berani bermimpi melampaui batas-batas yang telah diprogram. Pertanyaan utamanya kini adalah: apakah kita siap untuk mengambil kembali kemudi impian kita sendiri?.

 

Tim Damariotimes.

 

Posting Komentar untuk "Terkungkung Algoritma: Ketika Impian Menjadi Komoditas"