Seni di Era Digital: Membangkitkan Kesadaran, Melawan Hegemoni

 

kesadaran melawan hegemoni (sumber AI)


Damariotimes. Dalam lanskap digital yang terus berubah, pertanyaan fundamental muncul: apakah pemahaman tentang "seni sosial" masih relevan di era media sosial? Konsep seni sosial, yang secara historis mengacu pada praktik seni yang berinteraksi langsung dengan isu-isu kemasyarakatan, memberdayakan komunitas, dan mengkritik struktur kekuasaan, menghadapi tantangan dan peluang baru di platform daring.

Di satu sisi, media sosial telah membuka pintu bagi demokratisasi ekspresi seni. Karya-karya visual, musik, pertunjukan, dan narasi dapat tersebar luas dalam hitungan detik, melintasi batas geografis dan sosial. Seorang seniman jalanan di Malang kini dapat menjangkau audiens global melalui unggahan video atau foto. Ini berpotensi besar untuk seni sosial, karena pesan-pesan yang berpihak pada masyarakat dapat dengan mudah disebarkan, menciptakan kesadaran, dan bahkan memicu gerakan. Namun, di sisi lain, platform ini juga merupakan medan pertempuran ideologi, di mana seni sosial harus bersaing dengan gelombang konten yang didorong oleh kapitalisme dan feodalisme yang bertransformasi.

 

Transformasi Feodalisme dan Kapitalisme dalam Ranah Seni Digital

Fenomena yang patut dicermati adalah transformasi seni feodal yang "berganti baju" di media sosial. Seringkali, ini muncul dalam bentuk narasi yang meromantisasi masa lalu, mengagungkan hierarki tradisional, atau menyajikan estetika yang konservatif dan eksklusif. Alih-alih mempromosikan kesetaraan dan kemajuan, konten semacam ini dapat memperkuat nilai-nilai yang menempatkan segelintir individu atau kelompok di atas yang lain, seringkali dengan dalih "kembali pada akar budaya" atau "melestarikan tradisi luhur". Media sosial menjadi etalase bagi pameran kemewahan atau gaya hidup tertentu yang seolah-olah eksklusif, menciptakan jarak alih-alih merangkul inklusivitas.

Pada saat yang sama, seni kapitalisme merajalela dalam bentuk mode dan gaya hidup yang terus-menerus didorong melalui algoritma dan iklan. Seniman, atau setidaknya apa yang disebut sebagai "influencer", seringkali menjadi corong bagi produk dan gaya hidup konsumtif. Estetika "sempurna" yang ditampilkan, tren busana yang berganti cepat, dan dorongan untuk memiliki barang-barang terbaru, semuanya bekerja untuk memperkuat masyarakat konsumtif. Seni, dalam konteks ini, bukan lagi alat untuk refleksi kritis atau perubahan sosial, melainkan menjadi komoditas itu sendiri atau sarana untuk mengkomodifikasi kehidupan. Masyarakat didorong untuk tetap berada dalam lingkaran konsumsi yang tiada henti, di mana identitas seringkali diukur dari apa yang dimiliki, bukan dari apa yang diperbuat atau diyakini.

 

Membangkitkan Seni Sosial yang Berpihak pada Masyarakat

Pertanyaannya, bagaimana seni sosial dapat bangkit dan tetap berpihak pada masyarakat, bukan pada kapitalisme dan feodalisme yang bermetamorfosis ini? Jawabannya terletak pada kesadaran kritis dan strategi yang tepat.

Pertama, reinterpretasi dan dekonstruksi. Seni sosial perlu secara aktif mendekonstruksi narasi feodal dan kapitalis yang beredar. Ini berarti bukan hanya menolak, tetapi juga menganalisis dan membongkar cara kerja hegemoni tersebut dalam estetika dan pesan. Seorang seniman dapat menciptakan karya yang parodi gaya hidup mewah, menyoroti ketimpangan sosial di balik narasi "kemewahan" tertentu, atau menafsirkan ulang simbol-simbol tradisional dengan makna yang lebih inklusif dan progresif.

Kedua, penekanan pada partisipasi dan kolaborasi. Seni sosial yang otentik adalah seni yang bukan hanya "untuk" masyarakat, tetapi "bersama" masyarakat. Di era media sosial, ini dapat berarti mendorong interaksi dua arah, kolaborasi dalam penciptaan konten, dan memberdayakan komunitas untuk menceritakan kisah mereka sendiri. Proyek seni yang melibatkan masukan dari masyarakat, menggunakan user-generated content, atau membangun jaringan solidaritas antar seniman dan aktivis dapat menjadi sangat efektif. Ini sejalan dengan pemikiran Joseph Beuys yang menekankan konsep social sculpture, di mana setiap individu adalah seniman potensial dan masyarakat itu sendiri adalah sebuah karya seni yang terus dibentuk oleh tindakan kolektif. Bagi Beuys, seni bukan hanya tentang objek, tetapi tentang proses transformasi sosial dan pemberdayaan individu.

Ketiga, fokus pada nilai guna dan keberlanjutan. Melawan budaya konsumtif berarti menggeser fokus dari kepemilikan materi ke pengalaman, pengetahuan, dan nilai-nilai yang lebih mendalam. Seni sosial dapat menyoroti isu-isu lingkungan, mempromosikan gaya hidup minimalis, atau menginspirasi tindakan untuk keadilan sosial. Ini membutuhkan seniman untuk menjadi aktivis dan pemikir kritis yang memahami bagaimana seni dapat menjadi instrumen perubahan. Pemikiran Herbert Marcuse, salah satu tokoh Mazhab Frankfurt, relevan di sini. Dalam karyanya One-Dimensional Man, Marcuse mengkritik masyarakat industri maju yang menciptakan "kebutuhan palsu" melalui konsumsi massal, mengikis dimensi kritis dalam diri individu. Seni, baginya, memiliki potensi untuk menjadi "affirmasi negatif" yang menentang status quo dan menawarkan kemungkinan emansipasi.

Keempat, membangun jaringan alternatif dan ruang aman. Di tengah dominasi platform besar, seni sosial perlu membangun jaringan dan ruang di media sosial yang bebas dari tekanan komersial dan sensor. Ini mungkin berarti menggunakan platform yang lebih kecil, atau secara strategis mengelola konten di platform besar untuk tujuan aktivisme dan pendidikan. Seniman dan kolektif dapat menciptakan komunitas daring yang fokus pada dialog kritis, dukungan timbal balik, dan pertukaran ide yang progresif.

Kelima, edukasi literasi digital dan visual. Masyarakat perlu dibekali dengan kemampuan untuk membaca dan menginterpretasikan pesan-pesan yang disajikan di media sosial secara kritis. Seni sosial dapat mengambil peran dalam mengedukasi publik tentang manipulasi citra, algoritma yang bias, dan strategi pemasaran yang mendorong konsumerisme. Membangun kesadaran ini adalah langkah awal yang krusial untuk membangkitkan agen-agen perubahan dari dalam masyarakat.

Sebagai kesimpulan, pemahaman tentang seni sosial tidak hanya masih berlaku di era media sosial, tetapi menjadi semakin mendesak. Tantangan yang ditimbulkan oleh transformasi seni feodal dan kapitalisme di ranah digital menuntut pendekatan yang lebih cerdas, partisipatif, dan kritis. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip dekonstruksi, kolaborasi, fokus pada nilai guna, pembangunan jaringan alternatif, dan edukasi literasi digital, seni sosial dapat terus menjadi kekuatan yang berpihak pada masyarakat, menumbuhkan kesadaran, dan mendorong perubahan transformatif di tengah hiruk pikuk dunia maya.

 

Tim Damariotimes.

Posting Komentar untuk "Seni di Era Digital: Membangkitkan Kesadaran, Melawan Hegemoni"