Ada Strata Sosial Penggunaan Penutup kepala Berbahan Kain, dan Etika Dramaturginya

        Damariotimes. Totok Suprapto (73 th); pria kelahiran Cepu Jawa Tengah ini mengaku ditakdirkan jadi pemain Ludruk. Ketika di sambangi dikediamannya di Sukun, beliau menceritakan perjalanan ludruk dari hilir hingga ke hulu.
Menggunakan penutup kepala berbahan kain memang jadi mbois (Foto ist.)
        Cak Totok, panggilan sehari-hari pria tinggi gempal itu. Semua pemain ludruk dapat memang tidak ada yang menggunakan penutup kepala dari kain batik untuk harian. Penggunaan penutup kepala berbahan kain batik, hanya untuk pementasan. Para pemain Ludruk sangat paham dengan peran hingga ke kostum yang dipakai. Jika telah ditentukan pemeranannya, para pemain ludruk harus dapat memakai kostum dan menghias diri. Biasanya memakai penutup kepala dari kain dalam bentuk lembaran, segi empat. Cak Totok mengaku tidak suka menggunakan udengan yang lembaran, tekniknya penggunaannya sukar, karena lebih praktis yang sigaran.
Totok Suprapto menjelaskan berbagai jenis tutup kepala berbahan kain (Foto ist.)
 
        Penutup kepala berbahan kain berjenis Kemplengan, merupakan jenis khas Jawa Timur, karena memiliki kesan yang mbois, maco, atau tampak maskulinitasnya. Berberapa lakon ludruk yang berjenis ‘silat’ pada umumnya menampilkan tokoh-tokoh muda, semuanya pakai penutup kepala jenis kemplengan. Jenis penutup kepala jingkengan itu umumnya digunakan kain Wulung, hitam berpelipit putih. Cak tokoh pernah menggunakan jenis jingkengan untuk memerankan tokoh Patih Sindurejo. Sementara jika untuk peran muda pada lakon jenis sejarah, seperti Sawunggaling. Tokoh-tokohnya menggunakan jenis kemplengan. Kain batik yang digunakan motif Sidoarjo. Lakon Sawunggaling di Ludruk Malang secara umum menggunakan jenis kostum: Krucilan. Semua peran laki-laki bertelanjang dada. Jika ludruk di Surabaya, apabila menggelar lakon Sawunggaling yang menampilkan tokoh Sawungsari dan Sawingrono. Mereka menggunakan penutup kepala berjenis kemplengan dengan kain bercorak Mataraman, umumnya putih atau coklat.
Cak Totok Memerankan Patih Sindurejo (foto ist.)
        Varian jenis model kostum, antara Ludruk Malang dan Surabaya memang berbeda. Akan tetapi perbedaan itu dikarenakan lingkungan dan persepsi para tokoh pendahulunya. Namun setiap unsur kostum selalu mendapatkan perhatian dan pemahaman, karena tokoh-tokoh ludruk pada zaman dahulu itu menyadari. Bahwa kerja mereka itu professional, mereka menghibur penonton mendapat bayaran.
        Cak Totok ketika menjadi pengurus pada Ludruk Wijayakusuma. Mulai muncul ide-ide untuk mengubah sistem pengcastingan. Kalau zaman dahulu, pemain peran selalu di dominasi orang-orang yang dianggap punya otoritas, orang yang telah mendapatkan legitimasi dari penonton. Hal ini menjadi penghambat, bagi pemain muda berbakat. Dengan demikian semua pemain itu harus serba bisa. Termasuk mengenakan penutup kepala, harus dilakukan sendiri. Ludruk di atas tahun 1990an rata-rata punya kostum untuk peran yang idolanya, umpamanya Sawunggaling yang terkenal;  Cak Bawok Arifin.
        Menambahkan di penghujung pembicaraan, Cak Totok menjelaskan, bahwa mengenakan tutup kepala bagi pemain ludruk tidak berani menggunakan untuk harian, hal itu ada doktrin yang telah ditekankan oleh seniornya. Bahwa pakaian sehari-hari tidak boleh digunakan untuk di bawa di atas panggung. Kostum panggung itu khusus. Pemain ludruk harus dapat membedakan; ada etika sosial, ada hirarki sosialnya. Maka para pemain ludruk sadar tentang strata sosial.
 
 
Redaktur    : R. Hidajat
Editor          : Muhammad ‘Afaf Hasyimy

Posting Komentar untuk "Ada Strata Sosial Penggunaan Penutup kepala Berbahan Kain, dan Etika Dramaturginya"