DIDIK NINI THOWOK Menari dan Berdoa, serta Berbagi untuk Sesama

Damariotimes. Sudah hampir 30 tahun penulis tidak mengunjungi sanggar Natyalaksita, sanggar berciri tari ini didirikan Didik Hadiprayitno, populer dikenal dengan sebutan Didik Nini Thowok. Agak kebingungan memasuki kompleks perumahan Jatimulyo baru. Setelah memasuki  sebuah gang atas petunjuk seorang ibu-ibu yang tambun. Go-jek yang penulis tumpangi mengarah rumah di ujung gang, tampak dari kejauhan profil topeng wajah  Didik yang terpapang di depan kantor. Wah ini betul, benar-benar sudah sampai di rumah maestro tari komikel Indonesia. Perumahan Jaimulyo Baru blog G 14 RT 027 RW 006, Kricak, Tegalrejo, Yogyakarta.

Didik Nini Towok (sumber https://epaper.mediaindonesia.com/)
            Penulis telah menerima janji akan diterima pukul 08.30 WIB ketika sampai masih pukul 08.00 WIB masih pagi, kantor yang kokoh berlantai 2 itu masih rapat terkunci, sepi. Penulis mengetuk rumah bagian tengah yang berlebel ‘salon Didik Nini Thowok.’ Kosong, ada kamar di depan sedikit terbuka, ada yang tidur di dalamnya, tampak sangat lelah. Teriakan penulis tidak terdengar. Sementara menunggu sosok manusia yang membukakan pintu, penulis duduk di sebuah kursi tua. Tidak lama kemudian, ada seorang wanita masuk membawa seikat sayur. Ketika penulis menyatakan akan bertemu mas Didik, panggilan akrab semua orang. Dia lalu mempersilahkan ke sanggar di samping timur salon. Ternyata mas Didik sedang berbincang-bincang dengan seorang wanita, entah siapa. Mas Didik segera menghampiri penulis dengan salam yang hangat. Kami langsung berbincang-bincang dengan sangat menyenangkan, bahkan sanggar ini 20 tahun yang lalu sudah mengalami perubahan. Dulu masih sederhana, teras samping rumah  yang beratap ijuk dan seng.

            Penulis menyaksikan kegigihan mas Didik membangun usahanya yang hingga kini masih tampak tidak terlalu mewah, walaupun namanya sudah mendunia. Pria lentik yang kini sudah berusia 64 tahun itu masih seperti yang dulu. Sederhana dan hangat menyapa semua orang yang dia kenal atau tidak. Sehingga sambutan pagi itu benar-benar mendudukan penulis sebagai costumer, dilayani dan diterima lebih akrab dan santai lebih dari costumer service bank. Penulis berpikir, ini mungkin salah satu bagian dari pembangunan relasi. karena mas Didik  sejak masa kuliah sudah sangat peka pentingnya membangun relasi. tahun 1976, ketika masih mahasiswa ASTI Yogyakarta. Sarjana Seni Tari (SST) itu ketika masih jadi mahasiswa pernah membuat kartu nama yang dibagi-bagikan pada banyak orang. Beberapa dosen menaruh rasa sinis dan mencibirkanya. Hal itu disadari benar, karena tidak atau belum terlalu populer, sebagai seorang mahasiswa mungkin belum pantas mengenalkan diri lewat kartu nama. Padahal itu merupakan salah satu strategi menggalang relasi. Penulis memandang langkah strategi ‘kartu nama’ itu adalah tindakan yang cerdas. Kecerdasan apa lagi yang dapat digali dari pengalaman mas Didik sebagai kreatifprenuership. Penulis ingin mengulik lebih lanjut tentang talenta bisnis seni pertunjukan.

Orientasi Spiritualitas

            Pria yang tinggi semampai dan berpenampilan gemulai ini dibesarkan di lingkungan keluarga yang memiliki talenta bisnis. Ayahnya keturunan Tionghow bernama Kwee Yoe Tiang (Hadiprayitno) seorang pedagang kulit. Bahkan dia mengaku, nenek buyutnya dari Tiongkok yang memilih tinggal di Indonesia untuk berdagang. Silsilah nenek buyutnya itu baru ditemukan beberapa tahun yang lalu. Didik merasa bangga, karena dia keturunan orang yang sangat tangguh di dunia usaha. Ibunya bernama Suminah, orang Jawa asli. Suminah memiliki apresiasi seni pertunjukan tradisional yang tinggi, hampir setiap waktu selalu membawa Didik menonton wayang kulit, wayang orang, dan seni pertunjukan tradisional di Temanggung. Didik sejak kecil mempunyai nama lahir Kwee Thoen Lian sangat senang, terlebih jika mendengarkan musik india, langsung dia  menari.

            Pada waktu kami sempat terlibat dalam pembicaraan yang semakin serius, namun tetap santai. Secangkir teh dan makanan tradisional menemani perbincangan mengulik usaha bisnis seni pertunjukan. Didik menegaskan, bahwa usaha ini tidak semata-mata untuk dirinya, namun pada intinya adalah sebagai penanda aktivitasnya untuk mengenali hakekat seni pertunjukan. Berbagai perjalanan menekuni seni tradisi dipertemukan dengan para guru-guru yang hebat. Mulai dari empu topeng Cirebon, Malang, Banyuwangi,  Bali, dan Makasar. Semua memberikan pengalaman spiritual untuk memasuki hakekat sebagai penari. Sepanjang perjalanannya sebagai penari profesional dan menjalankan usaha bisnisnya itu adalah sebuah ‘ibadah.’

Pada sisi yang lain, perjalanan Didik Nini Thowok sebagai seniman transgender adalah penghayatan yang terdalam untuk menemukan jati dirinya. Semua ini merupakan titik kulminasi dari proses kreatif. Mengikuti kata hati dan dilandasi dengan usaha untuk mencapai kesempurnaan, pendalaman spiritual, dan keikhlasan. Didik diajarkan oleh para maestro tari tradisional tentang keikhlasan lahir dan batin. Penulis terhanyut dengan berbagai penjelasannya, tidak menyangka artis komedian dapat berbagi tentang spiritualitas estetik dengan serius.

Penulis menyaksikan pada hari itu, ada rombongan sanggar tari dari Wonogiri. Rombongan satu bus penuh, mulai dari siswa Paud hingga SMP. Rombongan sekitar 100 orang, siswa, pelatih, dan orang tua. Sanggar jadi penuh sesak. Didik menghampiri tamunya lewat depan sanggar, kontan para Ibu-Ibu menyerbu untuk salaman, dan tak lupa berebut minta foto.  

Para pekerja seni dibawa kendali Didik dengan sigap menata berbagai sarana dan prasarana penyambutan, mulai dari LCD proyektor yang menampilkan rekaman dokumenter Didik hingga display kaos, cangkir, dan buku-buku. Semua barang yang didisplay habis terjual, bahkan Didik dengan senang hati menanda tangani setiap kaos yang dibeli. Ini perjuangan yang benar-benar tidak dapat dipandang sebelah mata. Semuanya ini adalah ekologi yang bersinergi antara usaha, kerja, dan doa.  Berdoa bagi Didik merupakan sesuatu yang sangat berdampak positif dalam kehidupannya, walaupun badai menerpa. Tapi ketegarannya tetap dalam lindungan-Nya, seperti dua tahun terdapak Covid-19. Usahanya dibidang seni benar-benar jatuh, asistennya harus dirumahkan. Karena dia sendiri merasa berat untuk membiaya hidup dan keluarganya. Namun semuanya dapat pulih kembali, itulah berkat dari sikap spiritualitasnya yang sangat mendalam.

Kreativitas dan Berbagi

            Bisnis yang dilakukan Didik  Nini Thowok berbeda dengan bisnis ayahnya, pedagang kulit menghitung untung rugi dan kondisi pluktuatif pasar. Bisnis seni pertunjukan membutuhkan kreativitas, memutar otak, dan sensitif terhadap situasi zaman. Pada tahun 1980-an sanggarnya laku keras, bahkan hingga membuka cabang di beberapa tempat. Waktu itu belum banyak persaingan, sehingga para wali murid tidak merasa keberatan dengan biaya kursus yang relatif tinggi. Namun sekarang tidak demikian, orang tua sudah memperhitungkan dan membanding-bandingkan. Sehingga strateginya harus mengalami perubahan.

            Kesadaran kreatifnya dilakukan dengan cara membangun relasi dengan seniman-seniman tradisional di berbagai daerah. Mereka adalah sumber materi dan inspirasi. Dalam waktu dekat ini akan membuat film dokumenter tari Beskalan Malang di Padepokan Seni Mangundharmo Tumpang. Maestro tari Beskalan, Mbah Rasimoen dari Desa Gelagahdawa Tumpang Malang dipandang sebagai narasumber sangat luar yang bersahaja. Tidak merasa menjadi orang hebat yang memiliki siswa seniman-seniman besar. Didik belajar dari dari kesederhanaan itu. Sehingga bisnis yang dilakukan itu dikendalikan dengan kesederhanaan, dan kebersahajaan. Tidak membutuhkan fasilitas yang luar biasa, namun tetap dilakukan secara profesional.

Bisnis seni pertunjukan yang ditekuni Didik tidak didorong mengejar keuntungan yang berlebihan. Sanggar Natyalaksita di tepi sungai Winongo benar-benar ingin menciptakan lingkungan yang bersahaja. Fasilitas di sanggar ini dibuat sebatas layak untuk menerima tamu, relasi, dan berbagai urusan bisnis. Beberapa sudut  harus ditata, bersih,  dan layak. Semuanya dirancang menurut kemampuan memenuhi kebutuhan operasional.

Pekerja seni di Sanggar Natyalaksita ada 20 orang, mereka terbagi-bagi menurut kemampuannya, ada supir, tukang masak, perias, pelatih tari, dan pelaksana administrasi kantor. Setiap bulan setidaknya harus mengeluarkan biaya untuk menggaji pegawai sekitar Rp. 25.000.000.- dan biaya operasional perawatan dan biaya air, listrik, internet mencapai Rp. 30.000.000,-. Didik sangat bersyukur pada Tuhan, semua itu dapat tercukupi, entah dari mana saja pemasukan itu. Namun, Didik juga harus berusaha dan peka terhadap situasi yang dapat memasarkan produknya.

Didik Nini Thowok, Pria kelahiran 13 November 1954 ini menyadari kemampuan dan kekuatan dirinya. Semua usahanya dilakukan dengan penuh perhitungan dan dijalankan dengan kesungguhan. Usaha dan kreativitas membutuhkan untuk memperbaharui eksistensi diri. Pada zaman ‘now’ sosial media (sosmed) menjadi kunci komunikasi, dibutuhkan merubah realitas menjadi image. Didik selalu menyempatkan untuk meng-update dirinya setiap waktu. Apa yang sedang saya lakukan  harus dikabarkan pada semua orang  melalui facebook, twiter, youtube, dan  instagram. Didik menunjukan, folowernya mencapai 35 ribu. Ini kekuatan promosi yang sangat luar biasa. Namun semua itu adalah sarana, tetap ada sisi lain yang dibutuhkan. Penulis mencoba untuk menyimak, mungkin ada kiat bisnis yang sangat rahasia. Didik menceritakan banyak hal tentang pengalamannya memperhatikan para karyawan, mereka orang yang sangat berdedikasi terhadap profesinya. Mereka layak menerima penghargaan yang lebih dari yang bisa diberikan. Hendrit Sukoyuwongo sebagai satu contoh, salah satu pekerja seninya yang memiliki dedikasi yang sangat luar biasa. Dia layak mendapatkan apresiasi yang pantas. Mas Hendrit sudah tidak lagi dapat menunaikan kerja di Sanggar karena sakit, Didik berusaha untuk tetap dapat menopang kehidupannya, Hendrit mendapat pensiun bulanan. Penulis terharu dan kagum dengan sikap seniman yang sering berali-alih rupa dengan mengunakan topeng ini. Strategi bisnis yang benar-benar humanstik, bisa membaca perasaan orang lain dan juga mengendalikan perasaannya sendiri yang terdalam. Berbagi dengan orang lain itu merupakan hakekat yang sangat humanistik.

 



Reporter          : R. Hidajat
Editor              : Muhammad ‘Afaf Hasyimy
  

Posting Komentar untuk "DIDIK NINI THOWOK Menari dan Berdoa, serta Berbagi untuk Sesama"