Mitos Seni Pertunjukan Tayub Jawa

Ronggeng Jawa; Ilustrasi yang digambarkan oleh Raffles dalam Bukunya The History Of Java (1978)
            DAMARIOTIMES - Ben Suharto dalam bukunya berjudul: Tayub; Pertunjukan & Ritus Kesuburan menyoroti Tayub berdasarkan sudut pandang  kepercayaan orang Jawa kuno mempunyai unsur yang berkaitan dengan eksistensi  pria dan wanita. Sebab keberadaan Tayub tidak dipandang sebagai sebuah kesenian, namun merupakan  ritus  kesuburan. Clifford Geertz juga memandang bahwa Tayub di Jawa  memiliki nilai ritual yang penting bagi masyarakat Jawa yang budaya agraris (Geertz 1960).  Kepercayaan orang Jawa Kuna menyebutkan beberapa tari yang mempertemukan pria dan wanita  dalam sebuah perhelatan adalah  simbol kesuburan (Soeharto 1980). Keberadaan Tayub dalam masyarakat Jawa  mempunyai eksistensi yang sangat penting karena menjadi  pusat dalam ritus bersih desa, rasulan (sehabis panen raya) ruwatan, nedar, dan lain-lain.

Kepercayaan orang Jawa kuno yang dilatar belakangi budaya agraris menempatkan ritus kesuburan sebagai satu-satunya pernyataan pengharapan yang selalu didambakan oleh masyarakat. Pandangan orang Jawa menyikapi tentang makna kesuburan  tanah tidak hanya bersifat teknis, yaitu selesai dengan mengolah dan memupuk yang kemudian menanaminya dengan benih tanaman. Akan tetapi, selalu upayakan tindakan spiritual yaitu dengan melakukan ritual untuk mendapatkan  magis simpatetis (sympathetic magiec).

            Selanjutnya Eliade menjelaskan bahwa pesta kolektif yang dimaksudkan untuk menjustifikasi ritual dalam membentuk perkembangan vegetasi yang mereka langsungkan pada periode kritis tertentu dalam setahun, misalnya ketika biji telah  berkecambah (pembenihan) atau tanaman mulai menuai, dan senantiasa memiliki hierogami sebagai model mitisnya

            Apa yang dilukiskan Eliade tidak jauh berbeda dengan Tayub yang selalu diketengahkan sebagai bentuk upacara mistis tentang perkawinan, baik dalam pengertian yang bersifat simbolik atau realistis. Ritus perkawanian memilih model ilahi, dan perkawinan manusia mereproduksi hierogami, secara lebih khusus penyatuan langit dan bumi sang suami menyatakan dirinya “akulah Sorga (langit)” dan sang istri  “aku adalah bumi”. Penyatuannya serupa serupa dengan penyatuan  berbagai unsur, sorga (langit) merangkul pengantin wanita, dengan menyalurkan hujan yang menyuburkan tanah (Eliade, 2002).

            Mitos kesuburan juga dipahatkan pada dinding candi Sukuh dan Ceta. Di atas lantai batu dari pintu candi  Sukuh, sebuah phalus (lingga)  besar yang berhadapan  dengan pasangan wanitanya. Di candi Ceta sebuah phalus  terletak sama yang menunjuk ke arah batu segitiga yang horizontal (Holt, 2000).

             Tayub jika dicermati secara sosiologis menunjukan sebuah realitas yang  berkatian erat dengan struktur sosial masyarakat Jawa masa lampau. Masyarakat Jawa  menempatkan hak dan kesempatan pria  lebih luas dibanding  kaum wanita. Tayub merupakan sebuah pernyataan prestisius pria di depan wanita. Hal ini menunjukan bahwa pria adalah sebuah simbol kekuasaan atas wanita. Fenomena  dalam kultur masyarakat Jawa menempatkan wanita sebagian warga masyarakat yang tidak produktif, yaitu diposisikan pada fungsi yang memiliki ruang gerak yang terbatas, di dapur dan di kasur. Seperti yang dikemukakan oleh Sri Suranjati Sukri dan Ridin Sofyan (2001:6) dalam bukunya : Perempuan dan Seksualitas dalam Tradisi Jawa. Fungsi wanita dalam rumah tangga, yang dimulai dari masak (memasak di dapur untuk suami). Macak (berdandan untuk suami) , dan manak (melahirkan untuk suami). Pandangan tersebut memiliki kaitan erat dengan ekspresi pria dalam pergaulan sosial budaya, salah satunya tereflesikan dalam Tayub. Tayub tampak lebih utama  diperuntukkan bagi kaum pria, sedangkan wanita (ledhek) lebih berfungsi sebagai partner penghibur  untuk memuaskan hasrat laki-laki.

Hal ini menyebabkan Tayub tidak mampu dilepaskan dari prasangka buruk masyarakat, terutama dikalangan priyayi dan masyarakat terpelajar. Priyayi Jawa seringkali menuduh Tayub sebagai kegiatan prostitusi terselubung atau tempat berkumpulnya para pemabuk (Moehayat, 2004:115). Geertz dalam buku Abangan, Santri, Priyayi: dalam Masyarakat Jawa dan Thomas Stamford Raffles (1978) dalam bukunya The History of Java Raffles. juga memandang bahwa Tayub  adalah predikat yang kurang baik, karena dikaitkan dengan kegiatan prostitusi terselubung. Sehingga penari yang secara khas juga disebut Ledhek atau keldek identik dengan pelacur. Pernyataan tersebut didapatkan dari informan Geertz di Jawa sebagai perempuan sebagai taledhek (ledhek) diberikan catatan hampir sebagai seorang “pelacur”, oleh karenanya organisasi-organisasi perempuan seperti Perwari; perkumpulan wanita kaum priyayi sangat membenci, dan menentang keberadannya. Kesan a-susila dan atau dianggap menyimpang dalam koridor moral Jawa ini disebabkan oleh cara pengibing memberikan tip kepada teledhek, biasanya dilakukan seperti Tayub yang berfungsi sebagai tari penghibur. Cara itu sangat unik dan nakal yaitu dengan memasukkan uang ke dalam kain kemben pembalut buah dada ledhek.

Kedua fenomena tersebut menarik untuk dicermati, setidaknya issu dalam pertunjukan Tayub di Jawa memang berorientasi pada tema sentral yang menunjuk pada eksistensi pria dan wanita atau dengan kata lain memfokuskan keberadaan pertemuan feminitas - maskulinitas. Pemikiran tersebut jelas berorientasi pada paradigma dualitas.

 

Penulis            : R. Hidajat
Editor              : Muhammad ‘Afaf Hasyimy

Posting Komentar untuk "Mitos Seni Pertunjukan Tayub Jawa"