Penutup Kepala Dari Kain Batik untuk Tari Remo Di Malang

        Damariotimes. Suatu siang yang terik, mendapatkan kesempatan untuk berbincang-bincang dengan tokoh Ludruk dari Malang. Suwito Hs. (73 tahun) Hidupnya hingga saat ini seutuhnya hanya berkesenian, tidak pernah menjadi bekerja selain berkesenian. Menjadi ludruk memang bukan cita-cita, namun sejauh itu tidak pernah mampu menghindar dari seni pertunjukan yang saat ini mulai langka digeluti orang, seringkali menghela nafas, dan berguman ‘saat ini ludruk yang paling tua, tinggal saya seorang’.
Suwito Hs. Menari remo yang masih mengenakan dasi (Foto dokumen Suwito Hs.)
        Ludruk yang dipelajari selama ini memang berasal dari tokoh-tokoh ludruk Surabaya, seperti Gatot Supilin, salah satu tokoh pengereman Ludruk Marhaen. Pada tahun 1970an, Suwito Hs. Benar-benar sangat dekat dengan Pak Pilin, sehingga gayanya memang mampu diserap dengan baik. Pada waktu diberikan kesempatan untuk tampil, para pengendang remo dari Surabaya mengakui tampilannya sudah ‘Nyurabayani’. Hal ini dikarenakan memang pada awalnya Ludruk itu berasal dari Surabaya, bahkan yang mempunyai tari Remo putra itu memang grup ludruk dari Surabaya. Ludruk Malang tidak punya tari Remo, namun punya Tari Beskalan. Tidak ditampilkan pada ludruk, namun kostum Tari Beskalan digunakan untuk menampilkan tari remo putri.
        Panjang lebar ceritanya, pada intinya. Bahwa perkembangan tari Remo masuk ke Malang sangat sederhana, hal ini dikemukakan juga oleh tokoh ludruk tahun 1940-an, Said Djayudi. Pada mulanya tari Remo kostumnya tidak seperti wayang orang, namun sangat sederhana; menggunakan celana gelap, baju putih, sembong jarit, dasi hitam, mengenakan kopiah (peci) hitam, sampur ada di pinggang. Gambaran sederhana ini hingga tahun 1950-an, berikutnya berkembang menggunakan tutup kepala kain Madura dengan jenis penutup kepala ‘tutup liwet’. Masih tetap menggunakan baju putih, sembong batik (umumnya parang barong), namun sudah ada penambahan boro-boro-samir (pengaruh wayang orang). Bahkan pada waktu itu, pengereman menggunakan anting-anting di telinga kiri. Menurut Pak Pilin, tradisi mengenakan anting-anting di telinga kiri ini dilakukan oleh orang Madura yang kelahirannya Sabtu Wage.
        Pengereman Surabaya yang lain, seperti Munali Patah (Ludruk RRI Surabaya) acap kali menggunakan udeng kemplengan, dan telanjang dada. Namun konstum bagian bawah masih sama seperti kostum tari remo yang lain.
Munali Patah dengan gaya kostum yang khas (foto dokumen Suwito Hs.)
       Tradisi tari remo, dan penutup kepala dari kain untuk penari remo Malang, tapi peci hitam, ini artinya penari Remo di Malang memang tidak mempunyai tradisi mengenakan penutup kepala batik. Mereka tampak terbentuk pemahaman sebagai mana tradisi masyarakat nasionalis. Sehingga tari remo di Malang menjadi bagian dari masyarakat urban kota (?)
 
 
Pengambil data: R. Hidajat
Editor               : Muhammad Afaf Hasyimy

Posting Komentar untuk "Penutup Kepala Dari Kain Batik untuk Tari Remo Di Malang"