Apresiasi Seni dan Justifikasi Nilai dalam Kurikulum Pendidikan Umum: Mencetak Warga Berbudaya Kritis

 


siswa dapat mendalami unsur estetik dan etik sebagai hasil belajar seni (Foto ist.)


Damariotimes. Di ruang-ruang kelas Indonesia, sering kali pelajaran Seni Budaya hanya dipandang sebagai kegiatan kerajinan tangan atau latihan vokal semata. Pandangan ini keliru dan membatasi potensi sejati pendidikan seni. Dalam kerangka kurikulum terbaru, Kurikulumdi Indonesia, jantung pembelajaran seni justru terletak pada dua konsep fundamental: Apresiasi dan Justifikasi. Kedua konsep fondasi vital yang bertujuan membentuk pribadi yang peka estetika, kritis, dan berbudaya, menegaskan bahwa pembelajaran seni yang holistik harus melampaui kemampuan berkreasi.

 

Apresiasi: Membuka Gerbang Kepekaan Estetika

Apresiasi seni adalah domain wajib dalam kurikulum pendidikan seni Indonesia, dimaknai sebagai kegiatan menilai dan menghargai karya seni dengan menangkap nilai estetika dan sejarah yang terkandung di dalamnya. Konsep apresiasi yang digunakan dalam Kurikulum Merdeka, yang terlihat jelas dalam Capaian Pembelajaran, sangat kental bersandar pada kerangka teoretis yang melibatkan tiga tingkatan, sering dikaitkan dengan pandangan ahli seperti Brent G. Wilson:

Pada tingkat paling dasar adalah Apresiasi Empatik (Empathizing). Di sini, siswa diajak untuk merasakan (feeling) karya seni melalui serapan indrawi. Tujuannya adalah membangun kepekaan (sensitivitas) dan empati—misalnya, merasakan suasana sedih dari irama Gamelan atau kegembiraan dari gerakan tari.

Tingkat selanjutnya adalah Apresiasi Estetis (Feeling dan Valuing). Siswa mulai melangkah lebih jauh dari sekadar "suka" menjadi mengamati, menghayati, dan menafsirkan keindahan (estetika) karya secara mendalam. Mereka mulai memahami mengapa sebuah karya menarik, berdasarkan analisis unsur-unsur seni seperti bentuk, warna, komposisi, atau teknik yang digunakan.

Puncaknya adalah Apresiasi Kritik (Criticizing/Valuing). Inilah tahap tertinggi yang berujung pada penilaian dan justifikasi yang sistematis. Pada level ini, siswa dilatih mampu menjelaskan klasifikasi karya, menganalisis elemennya, mengevaluasi, dan akhirnya mengambil kesimpulan tentang makna serta nilai keseluruhan karya.

 

Justifikasi: Senjata Berpikir Kritis Siswa

Jika apresiasi adalah proses internal merasakan dan memahami, maka Justifikasi adalah manifestasi eksternal yang esensial. Justifikasi dalam seni merujuk pada kemampuan siswa untuk menyajikan argumentasi yang logis, berdasar, dan terukur saat menilai karya seni—baik karya yang diamati maupun yang diciptakan sendiri.

Konsep Justifikasi ini memiliki akar kuat pada Teori Kritik Seni Pedagogik dan Pendekatan Kritik Seni Barrett. Dalam konteks pendidikan, justifikasi berperan sebagai Kritik Pedagogik, bukan mencari kesalahan (menghakimi), melainkan bertujuan mulia:

Pertama, mengembangkan kematangan estetik, yaitu melatih siswa untuk menganalisis secara mendalam mengapa suatu karya pantas dianggap "bernilai" alih-alih hanya menerima mentah-mentah pandangan umum. Kedua, menghargai kontribusi sosio-kultural dengan memungkinkan siswa mengaitkan karya seni dengan konteks sejarah, budaya, dan nilai-nilai kemanusiaan yang lebih luas, seperti nilai kearifan lokal yang tertanam dalam sebuah opera tradisional. Kurikulum Merdeka secara eksplisit mendorong tahap refleksi dan evaluasi, yang merupakan bentuk nyata dari justifikasi.

 

Seni sebagai Penanam Nilai Luhur

Dalam praktik pendidikan seni di Indonesia, Apresiasi dan Justifikasi selalu berjalan seiring dengan Psikologi Perkembangan Anak dan Pendidikan Karakter. Apresiasi harus disesuaikan dengan perkembangan kognitif dan kinestetik anak (misalnya, memastikan tari anak harus enjoy dan memetis), sementara Justifikasi diarahkan untuk menumbuhkan nilai-nilai luhur yang universal.

Seni, dalam hal ini, bertindak sebagai media yang efektif untuk memahami isu etika, toleransi, dan gotong royong. Dengan menjustifikasi sebuah karya, siswa tidak hanya menilai kualitas artistik, tetapi juga nilai-nilai seperti Akuntabilitas atau Harmonis yang terkandung dalam narasi karya tersebut, menjadikan seni sebagai sarana untuk menginternalisasi nilai-nilai kebangsaan, termasuk yang tersirat dalam Core Value BERAKHLAK.

Kehadiran Apresiasi dan Justifikasi dalam kurikulum seni menunjukkan pergeseran penting: pembelajaran seni tidak lagi berfokus semata pada output seniman, tetapi pada outcome apresiator kritis. Individu yang mampu memahami sepenuhnya karya seni, peka terhadap keindahannya, dan yang paling utama, mampu menjustifikasi nilai-nilai yang terkandung di dalamnya secara bijaksana dan berdasar. Inilah pondasi utama untuk membentuk warga negara yang berbudaya, toleran, dan berpikir analitis di tengah arus perubahan zaman (disruption).

 

Penulis: R.Dt.

 

1 komentar untuk "Apresiasi Seni dan Justifikasi Nilai dalam Kurikulum Pendidikan Umum: Mencetak Warga Berbudaya Kritis"

  1. Atika Rahayu Wikanningrum23 Oktober 2025 pukul 18.04

    Mengenai artikel diatas saya jadi mengerti apa itu Apresiasi Seni dan Justifikasi Nilai dalam Kurikulum Pendidikan Umum: Mencetak Warga Berbudaya Kritis.

    BalasHapus