MESTERI GANG: LIMA BELAS METER, BELOK KIRI

Aku baru pulang melayat seorang nenek yang meninggal. Aku melayat dan menghantarkan hingga kepemakaman. Namanya, Djuminah. Meninggal usia 93 tahun. Tetangga di seberang rumah kosku, lima belas  meter, belok kekiri.

Pada malam harinya, aku tidak dapat tidur, hari sudah sangat terlalu larut,  namun mata ini seperti mata kelelawar yang tidak dapat dipejamkan. Pikiran melayang entah kemana dan apa yang terbayang, gelisah.

Sumber mapsus.net

Batal berkali-laki aku balik-balik, bahkan tubuhku juga. Terlentang, menatap langit-langit kamar kos, terdapat bercak-bercak bekas rembesan air hujan yang membekas. Tampak seperti gambran yang menyerupai sesuatu, seperti binatang tertaring, seperti orang berambut panjang, seperti wajah nenek yang meninggal pagi tari. Mataku segera terpecam, tapi bayangan itu masih tepat ada dalam pikiranku. Perlahan aku membuka mata, tampak sepasang cecak berkejar-kerjaran. Aku mencoba membenamkan muka di sela-sela bantal tidur yang terasa panas, tidak juga dapat memejamkan mata juga.

Udara memang panas sekali, namun bukan karena itu, Pikiran, pikiranku tak jelas ingin mengingat apa, tapi ada sesuatu yang hendak dituju. Mulai aku teringat pada wajah seseorang. Aku melirik ke dinding, jam dinding telah menunjukan pukul 03.00, dinihari. Bayangan wajah seseorang itu hilang lagi, tak jelas lagi. Pikiranku seperti mengajar ingatan, menyusuri hari-hari yang membuat hati tidak dapat lagi kompromi dengan mata.

Aku teringat, sebulan yang lalu, ketika kemarin melewati sebuah lorong  jalan ke rumah temanku, gang Sawo, Pakiskembar, Malang. Setelah aku bertanya pada seseroang, kemudian aku diarahkan “Lima belas meter, belok kiri.” Tiba-tiba aku melihat seorang nenek duduk di teras rumah bu Minah, saudara temanku. Bu Milah pernah dikenalkan oleh Ponimin, temanku. Waktu itu, di sebuah pasar malam.

Ketika aku turun dari terminal, langsung menuju rumah Ponimin. Alamatnya di gang Sawu, Pakiskembar. Malang. Setelah turun dari angkot, Aku berjalan kaki menuju mencari rumah temanku itu. Jalan setapak, memasuki kampung yang sepi. Ketika aku menanyakan rumah alamat itu. Seorang pedagang asongan mainan anak-anak yang mangkal dekat sekolahan menunjukan ke arah barat, setelah melawati gardu jaga di samping penjual angkringan nasi kucing, lima belas  meter, belok kiri. Di sebuah teras aku melihat seorang nenek duduk di sebuah kursi rotan. Dia sedang mendengarkan laku campur sari ‘sewu kuto.’ Aku juga menyukai lagu itu. Aku melanjutkan berjalan seperti yang ditunjukan oleh penjual mainan itu. Namun aku terasa penasaran ketika melihat nenek yang duduk dikursi rotan itu.

Ketika aku bertanya pada bu Mila,

‘Selamat sore, bu. Masih ingat dengan saya?”

“Nak, Sukro, apa kabar?”

“Baik, bu. Apa Ponimin di rumah?”

“ada, tapi baru pulang dari kampus.”

Hasratku menanyakan perihal nenek yang duduk di kursi itu semakin tidak tertahan,

“ Mohon maaf, bu. Ini nenek?

“oh, ya. Ini ibu saya.Nenek Asih, Sularsih!”

“Apa nenek Asih,..sebulan yang lalu pergi ke Yogyakarta”

“Tidak, nak. Nenek sudah tidak mau diajak ke mana-mana. Maunya hanya duduk dan mendengarkan lagu-lagu, campur sari, kegemarannya.

Aku semakin penasaran, Nenek Asih itu  mirip sekali dengan nenek Djuminah yang meninggal sebulan yang lalu. Aku mencoba untuk menghilangkan rasa penasaran itu, dan segera mohon pamit dengan bu Mila. Kemudian aku segera menjumpai Ponimin. Namun rasa penasaranku tidak bisa segera berlalu.

Setelah aku berjumpa dengan Ponimin, aku segera menanyakan prihal nenek Asih. Apakah nenek Asih punya saudara yang tinggal di Yogyakarta. Ponimin, segera tanggap apa yang sedang dalam pikiranku. Lalu dia menceritakan perihal nenek Asih.

Nenek Asih itu adalah ibu dari bu Mila. Dia adalah sepupu ayahku. Nenek Asih adalah anak kembar, adik nenek Asih dulu diberi nama Sulastini.Sejak kecil mereka dipisahkan, karena perang kemerdekaan. Kami semua sudah mencari diberbagai tempat, tidak pernah ada kabar dari sanak saudara. Nenek Asih juga sering teringat pada saudaranya itu.

Aku berpikir, apa benar nenek yang baru meninggal sebulan yang lalu di dekat rumah kosku itu saudara dari nenek Asih?.

 

Robby Hidajat

Posting Komentar untuk "MESTERI GANG: LIMA BELAS METER, BELOK KIRI"