Ang Hien Hoo: Mengukir Sejarah Wayang Orang Tionghoa di Kota Malang



Orang-Orang Tionghoa yang menjadi pemain WO Ang Hian Hoo (Foto koleksi Malik)

           

Damariotimes. Di tengah riuhnya kehidupan kota Malang yang dipenuhi dengan cahaya gemerlap dan kehidupan budaya yang kaya, terdapat sebuah keajaiban seni yang telah mengukir sejarah dan menorehkan jejak yang tak terlupakan. Ang Hien Hoo, sebuah nama yang begitu erat terkait dengan kehidupan masyarakat Tionghoa di Kota Malang, menjadi sebuah cerita yang memikat dan menginspirasi banyak orang.

Cerita dimulai pada tahun 1955, ketika prakarsa Tangkar alias Liem Ting Tjwan mencetuskan ide mendirikan Ang Hien Hoo. Awalnya, fokus mereka adalah pada pelayanan persemayaman jenazah, sebuah tugas yang dianggap sakral dalam budaya Tionghoa. Namun, semangat mereka untuk terus berkarya dan memberikan kontribusi yang lebih besar dalam dunia seni membawa mereka melangkah lebih jauh.

Ang Hien Hoo mulai menggali berbagai jenis kegiatan memperkenalkan seni pertunjukan wayang orang. Ide ini muncul dari respon positif masyarakat yang semakin tertarik dan terlibat dalam kegiatan seni yang mereka tawarkan, karena ini merupakan upaya konstruktuf untuk menjalin hubunan harmonis dari sentimen etnis antara orang Jawa dan Tionghoa. oleh karena itu langkah ini menjadi upaya untuk melakukan "pembawuran".

Di balik panggung gemerlap Ang Hien Hoo, ada sosok yang menjadi pilar utama dalam menjaga semangat dan nilai-nilai kebersamaan dalam grup ini. Shirley Kristiani Widjihandayani, atau yang lebih akrab dipanggil Bu Rudi, adalah perempuan yang penuh dengan cerita dan semangat untuk mempertahankan budaya Jawa. Sebagai putri dari Hardjoadiwinoto alias Tjhwa Hoo Liong, Shirley mewarisi nilai-nilai kejuangan dan cinta akan budaya dari orangtuanya.

Perjalanan Ang Hien Hoo mencapai puncaknya ketika mereka berhasil meraih prestasi dan pengakuan dalam dunia seni. Mereka pernah meraih juara kedua dalam sebuah festival di Solo pada tahun 1962, serta melakukan pertunjukan di Istana Presiden RI yang memperlihatkan kualitas dan keindahan pertunjukan mereka.

Namun, seperti halnya dalam perjalanan hidup, Ang Hien Hoo mengalami transformasi. Kondisi politik pada suatu waktu memaksa perubahan. Kegiatan pementasan wayang orang dihentikan sementara akibat situasi politik yang tidak mendukung. Namun, hal ini tidak menghentikan semangat mereka. Ang Hien Hoo pun berganti nama menjadi Panca Budi, dengan fokus kembali pada pelayanan persemayaman jenazah yang menjadi panggilan hati mereka sejak awal.

Kini, Panca Budi tetap menjadi bagian penting dalam kehidupan masyarakat Kota Malang. Lokasi mereka yang berada di Jalan Martadinata, Kotalama, Kedungkandang, Kota Malang, menjadi saksi bisu dari perjalanan panjang mereka dalam menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya yang mereka junjung tinggi. Kesuksesan mereka tidak hanya terlihat dari prestasi yang mereka raih, tetapi juga dari dedikasi dan semangat yang mereka tanamkan dalam menjaga keberagaman budaya dan mendorong integrasi antara berbagai etnis dan budaya di kota ini.

Ang Hien Hoo dan transformasinya menjadi Panca Budi adalah cerminan dari semangat mempertahankan keberagaman budaya dan menjalin integrasi antara berbagai etnis dan budaya. Dari layanan persemayaman jenazah hingga pertunjukan seni yang megah, perjalanan ini memancarkan semangat kreativitas, ketahanan, dan kebersamaan yang tidak tergoyahkan. Dengan Shirley Kristiani Widjihandayani sebagai pionir yang gigih dan para anggota Ang Hien Hoo yang berdedikasi, mereka telah menorehkan jejak inspiratif dalam dunia seni tradisional Tionghoa dan budaya Jawa, menjadi pilar kekuatan dalam menjaga dan melestarikan kekayaan budaya yang menjadi warisan nenek moyang.

 

Tim Damariotimes.

Editor : R.Dt.

 

Posting Komentar untuk "Ang Hien Hoo: Mengukir Sejarah Wayang Orang Tionghoa di Kota Malang"